BISMILLAHIR ROHMANIR ROHIEM
Segala
puji hanya milik Allah. Kami memujiNya, memohon pertolonganNya,
memohon ampunanNya dan bertaubat kepadaNya. Demikian pula kami selalu
berlindung diri kepadaNya dari kejahatan jiwa dan perbuatan buruk kami.
Siapa saja yang diberi hidayah oleh Allah, maka tiada yang dapat
menyesatkannya, dan siapa saja yang disesatkan oleh Allah maka tiada
yang bisa menunjukinya. Saya bersaksi, tidak ada Tuhan yang disembah
secara haq melainkan hanya Allah, tiada sekutu bagiNya. Dan saya
bersaksi bahwasanya Muhammad r itu adalah hamba Allah dan utusanNya. Shalawatullah
semoga senantiasa dilimpahkan kepada beliau, keluarganya, para
sahabatnya dan segenap umat yang mengikuti mereka dengan baik hingga
hari kiamat.
Amma ba’du; Sungguh belakangan ini kaum muslimin
telah meremehkan shalat dan bahkan sebagian dari mereka telah
meninggalkannya secara mutlaq (keseluruhan). Saat masalah ini termasuk
masalah besar yang telah menimpa umat dewasa ini dan para ulama saling
berbeda pendapat dalam menghukumi mereka –ulama tempo dulu atau
sekarang-, maka saya terdorong untuk memulis risalah ringkas ini.
Pembicaraan mengenai masalah ini terbagi menjadi dua
bagian: 1) Mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat. 2) Hukum
murtad yang menimpa setiap orang yang tidak mau shalat dan hukum-hukum
terkait.
BAGIAN PERTAMA: HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT.
Sungguh
hal ini merupakan salah satu masalah ilmiyah yang besar. Sungguh telah
berbeda pendapat dalam menilai masalah ini para ulama, sejak dulu
hingga sekarang. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat: “Orang yang tidak
shalat adalah kafir keluar dari Islam, ia boleh dibunuh jika tidak
bertaubat dan tidak mendirikan shalat.” Sedangkan Imam Abu Hanifah, Imam
Malik dan Imam Syafi’i berpendapat:: “Orang yang meninggalkan shalat
adalah fasiq bukan kafir”. Kemudian mereka (bertiga) berselisih
pendapat mengenai balasannya, maka Imam Malik dan Syafii berpendapat:
“Ia dibunuh sebagai balasannya”, sedangkan Imam Abu Hanifah
berpendapat: “Ia dita’zir (seperti dipenjara atau pelajaran yang lain
hingga ia jera) tidak dibunuh”.
Jika memang perkara ini adalah salah satu masalah
yang dipertentangkan hukumnya, maka wajib dikembalikan kepada Qur’an dan
Hadits. Sebagaimana ayat: “Tentang suatu apapun yang kalian perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah..” (Asy-Syura: 10), dan ayat: “Jika
kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih utama (bagi
kalian) dan lebih baik akibatnya “ (An-Nisa’: 59). Demikian pula
jika pendapat masing-masing yang berseberangan itu tidak ada yang lebih
kuat, sedangkan masing-masing mengklaim yang benar, padahal kesemuanya
tidak ada yang lebih berhak untuk diterima. Oleh karena itu, wajib
meruju’ dan kembali kepada hakim jujur yaitu Kitabullah dan Sunnah
Rasul. Apabila kita kembalikan masalah ini kepada Kitabullah dan Hadits,
maka kita temukan nash-nash padanya menerangkan bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir dan dinyatakan keluar dari Islam.
Dalil pertama: Dari Kitabullah (Qur’an):
Allah berfirman: “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.. “ (At-Taubah: 11)
“Lalu datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka
mereka kelak akan menemui kesesaatan. Kecuali orang yang bertaubat,
beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak
dirugikan sedikitpun.” (Maryam: 59-60)
Arah dilalah dari ayat kedua adalah: Saat
Allah menyinggung mengenai orang-orang yang menyepelekan shalat dan
menuruti nafsunya, Allah memperkecualikan “orang yang bertaubat dan beriman”.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika mereka menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya mereka bukan mukmin lagi, berarti telah
kafir. Sedangkan arah dilalah dari ayat pertama ialah bahwasanya
Allah menggariskan syarat-syarat dalam menjalin persaudaraan dengan
kaum musyrikin yaitu mereka harus bertobat dari kesyirikan, harus
mendirikan shalat dan wajib menunaikan zakat. Oleh karena itu, jika
mereka bertobat dari kesyirikan tidak mendirikan shalat dan tidak
membayar zakat, maka mereka bukan saudara kita. Jika mereka hanya
mendirikan shalat dan tidak menunaikan zakat, maka tidak termasuk
saudara kita. Ukhuwah (persaudaraan) dalam agama tidak hilang
kecuali dengan hal-hal yang mengeluarkan seseorang secara keseluruhan.
Maka dari itu, ikatan ukhuwah tidak hilang dengan kefasikan dan kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam. Perhatikan ayat qisos yang berarti “Maka
barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
(pula).” (Al-Baqarah: 178). Dalam ayat ini Allah menjadikan pembunuh
dengan sengaja tetap saudara dari orang yang membunuhnya, padahal
membunuh secara sengaja termasuk salah satu dosa besar sesuai ayat “Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnyadan Allah murka kepadanya
dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93). Perhatikan pula ayat yang menerangkan dua golongan dari kaum mukminin yang berperang: “Dan
jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adllah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu…” (Al-Hujurat: 9-10), Allah tetap menetapkan ukhuwah
di antara kelompok yang mendamaikan dan dua kelompok yang bertikai
saling membunuh, padahal sudah jelas memerangi orang mukmin adalah
termasuk kufur seperti sabda Nabi : “Mencela seorang muslim hukumnya fasik, sedangkan memeranginya adalah kufur”
(HR. Bukhari dari Ibnu Mas’ud). Hanya saja kufur tersebut tidak
mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena jika mengeluarkannya dari
agama niscaya tidak tersisa sedikitpun ukhuwah Islamiyah dengannya.
Dengan hal-hal di atas, jelaslah bahwa meninggalkan
shalat adalah kufur dan keluar dari agama Islam. Sebab jika hanya fasik
atau kufur di bawah kufur (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari
Islam) niscaya tidak ikut hilang ukhuwah Islamiyah seperti kasus sebab membunuh dan atau memerangi seorang mukmin.
Jika ada pertanyaan; Apakah orang yang tidak membayar
zakat itu kafir? Seperti yang tersurat dalam ayat taubat? Jawabannya
ialah: Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan
zakat adalah kafir. Demikian ini juga salah satu riwayat dari Imam
Ahmad. Tapi yang rajih menurut saya adalah ia tidak kafir, hanya saja
perlu dihukum berat seperti termaktub dalam ayat dan hadits. Di
antaranya ialah hadits Nabi “Kemudian dia akan melihat jalannya, ke surga atau ke neraka”
(HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan
zakat adalah tidak kafir, sebab jika dia telah kafir maka tidak ada
baginya jalan ke surga. Mantuq ( hal yang tersurat) hadits ini di dahulukan dari mafhum (hal yang tersirat) ayat taubat. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh.
Dalil kedua dari Hadits:
“Sesungguhnya jarak pemisah antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah)
“Perjanjian di antara kita dengan mereka (kaum kafir) adalah shalat. Maka siapa saja yang meninggalkannya sungguh dia telah kafir” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah dari Buraidah)
Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur yang
mengeluarkan dari Islam. Karena Nabi menjadikan shalat sebagai
pembatas antara kaum mukminin dengan kafirin. Seperti yang kita ketahui
bahwa agama kafir bukan agama Islam. Oleh karena itu setiap orang yang
tidak memenuhi perjanjian ini adalah kafir.
“Akan ada para pemimpin, di antara kalian ada yang
mengetahui dan menolak (kemungkaran-kemungkarannya). Siapa saja yang
mengetahuinya maka dia bebas dan yang mengingkari selamat tetapi yang
rela dan mengikutinya (tidak akan bebas dan selamat).” Para sahabat
bertanya: “Bolehkah kami memeranginya?” Beliau menjawab: “Tidak, selama
mereka mendirikan shalat.” (HR. Muslim dari Ummi Salamah)
“Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang
kalian cintai dan mereka mencintai kalian dan mendoakan kalian dan
kalian juga mendoakan mereka. Sedangkan pemimpin yang terburuk ialah
yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat
(mencerca)nya dan mereka melaknat kalian”. ditanyakan: Ya Rasul,
bolehkah kami menentangnya dengan pedang? Beliau menjawab: “Jangan,
selama mereka masih mendirikan shalat di antara kalian.” (HR. Muslim dari ‘Auf bin Malik)
Dalam dua buah hadits di atas, terdapat dalil tentang
boleh menentang pemimpin dan memeranginya jika dia tidak shalat. Tapi
jika dia shalat maka tidak boleh menentang dan memeranginya kecuali
memang ketahuan jelas kekufurannya dan terdapat burhan (bukti kuat) dari
Allah, karena ucapan Ubadah bin Shamit : “Nabi mengajak kami, lalu
kami berbaiat kepadanya. Di antara materi baiat tersebut adalah: kami
membaiat beliau untuk senantiasa mendengar dan taat (kepatuhan total)
baik dalam keadaan giat, terpaksa, kesulitan atau kemudahan, dan
mengutamakan beliau dari kami sendiri serta tidak menentang penguasa.”
Beliau bersabda: “Kecuali kalian lihat mereka (para penguasa) tadi
jelas-jelas kafir dan ada burhan (dalil kuat) dari Allah” (HR.
Muttaqaq ‘Alaih). Berdasarkan hadits ini maka jelaslah, perbuatan mereka
meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi sebagai alasan untuk
menentang dan memranginya adalah kekufuran yang sangat jelas menurut
kami dan ada bukti kuat dari Allah.
Tidak ada satu nash-pun dalam Qur’an dan Hadits yang
menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah mukmin. Kalaupun
ada hanyalah nash-nash yang menunjukkan tentang keutamaan tauhid,
syahadat “tidak ada Tuhan yang disembah dengan haq melainkan Allah dan
Muhammad adalah utusanNya” dan pahala yang terkandung di dalamnya. Namu
nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang
terdapat dalam nash itu senddiri yang dengan demikian tidak mungkin
shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu
yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau
bersifat umum sehingga perlu dipahami menurut dalil-dalil yang
menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil
yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat
khusus, sedangkan dalil yang khusus lebih didahulukan dan diutamakan
daripada dalil yang umum.
Jika ada pertanyaan: Apakah nash-nash yang
menunujukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat tidak boleh
diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum
wajibnya?
Jawab: Hal itu tidak boleh, karena akan mengakibatkan
dua masalah yang berbahaya; yaitu pertama: Menghapuskan atribut yang
telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah telah menetapkan hukum “kafir” atas dasar
meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari hukum wajibnya.
Demikian pula menetapkan “ukhuwah Islamiyah (persaudaraan
seagama)” atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui hukum
wajibnya. Allah tidak berfirman: “Jika mereka bertaubat dan mengakui
kewajiban shalat”, Nabi pun tidak bersabda: “Batas pemisah antara
seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari shalat”,
atau “Perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap
kewajiban shalat; barangsiapa yang mengingkari hukum wajibnya maka dia
telah kafir””.
Seandainya pengertian ini ialah yang dimaksud oleh
Allah dan RasulNya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini
berarti menyalahi penjelasan yang dibawa Qur’an. Allah berfirman:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …” (An-Nahl: 89)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Qur’an), agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka .. (An-Nahl: 44)
Sedang yang kedua: Menjadikan atribut yang tidak ditetapkn oleh Allah sebagai landasan hukum.
Mengingkari hukum wajib shalat lima waktu tentu
menyebabkan kekufuran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak
mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak.
Kalau ada seseorang mengerjakan shalat lima waktu
dengan melengkapi segala syarat, rukun, hal-hal yang wajib dan
sunnatnya, namun dia mengingkari bahwa shalat adalah wajib, tanpa ada
suatu alasan apapun baginya dalam hal ini, maka orang itu kafir
sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar, jika
nash-nash tersebut dikenakan pada orang yang meninggalkan shalat karena
mengingkari hukum wajibnya. Yang benar adalah bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya
keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu
hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan dari ‘Ubadah bin Shamit
ia menuturkan, Rasulullah telah berwasiat kepada kita: “Janganlah
kalian berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kalian
sengaja meninggalkan shalat. Barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja
meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam”
Demikian pula jika hadits ini kita kenakan pada yang
meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan
kata “shalat” secara khusus dalam nash-nash tersebut, tidak ada gunanya
sama sekali. Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa dan haji.
Barangsiapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena
mengingkari kewajibannya adalah kafir, jika tanpa alasan karena tidak
mengetahui.
Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil sam’i atsari (Qur’an dan Sunnah) maka menurut dalil aqli nazhari (logika) pun juga demikian.
Bagaimana seseorang dikatakan mempunyai iman,
sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama, dan pahala
yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap
orang yang berakal dan beriman agar segera melaksanakan dan
mengerjakannya, serta ancaman terhadap orang yang meninggalkannya
menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak
meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang
meningggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada
dirinya.
Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang
meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagi kufur nikmat, bukan
kufur millah (kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama
Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya di bawah
kufur akbar, seperti halnya kekafiran yang tersebut dalam hadits: “Ada
dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan satu
kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang mati.” Dan hadits: “Menghina seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adlaah kekafiran.” serta hadits:-hadits yang lain.
Jawab: Pengertian seperti ini dengan mengacu pada
contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan: Pertama: Bahwa Nabi
telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan
keimanan, antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Sedangkan
batas ialah sesuatu yang membedakan apa yang dibatasi serta
memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan
dan tidak bercampur antara satu dengan yang lain. Kedua: Shalat adalah
salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang
meninggalkannya berarti kafir yang keluar dari Islam, karena dia telah
menghancurkan salah satu sendi Islam; berbeda halnya dengan penyebutan
kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan
kekafiran. Ketiga: Ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa setiap
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang
mengeluarknnya dari Islam. Oleh karena itu, kekafiran ini harus dipahami
sesuai dengan arti yang terkandung, sehingga nash-nash itu akan sinkron
dan tidak saling bertentangan. Keempat: Penggunaan kata “kufr”
berbeda-beda. Misalnya tentang meninggalkan shalat beliau bersabda:
“(Batas pemisah) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran ..” di
sini digunakan artikel “al” dalam bentuk ma’rifah (definite)
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufr ini ialah kekafiran
yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata kufr secara nakirah
(indefinite) atau “kafar” dengan bentuk kata kerja, atau bahwa dia
telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran
mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari hadits: “Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka
..”, artinya kedua sifat ini adalah suatu bentuk kekafiran yang masih
terdapat pada manusia. Jadi, kedua sifat ini adalah suatu kekafiran,
karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tapi
masih terdapat pada manusia. Namun, tidak berarti bahwa setiap orang
yang terdapat pada dirinya salah satu cabang kekafiran dengan sendirinya
menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya
hakekat kekafiran. Begitu juga, tidak setiap orang yang terdapat dalam
dirinya sala satu cabang keimanan dengan sendirinya menjadi mukmin,
penggunaan kata “al-kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan artikel al) sebagiamna disebut dalam hadits: “Tidak ada (batas pemisah) antara seseorang dengan kekafiran atau kesyirikan kecuali meningggalkan shalat.” . Berbeda dengan kata “kufr” dalam bentuk nakirah (tapa artikel al) yang digunakan dalam kalimat positif.”
Jika telah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat
adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini. Maka yang
benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal, yang juga
merupakan salah satu pendapat Imam Asy-Syafii sebagaimana disebutkan
oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah: “Lalu datanglah sesudah mereka, generasi (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya
..” (Maryam: 59) Demikian pula disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam
“Kitabus Shalat” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua
pendapat yang ada dalam madzhab Imam As-Syafii. Imam At-Thahawi juga
menukilkan demikian. Memang pendapat inilah yang dianut oleh sebagian
besar sahabat. Bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini
merupakan ijma’ (konsensus, kesepakatan) para sahabat.
Abdullah bin Syaqiq mengatakan: “Para sahabat Nabi
berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan
menyebabkan kafir selain shalat.” (Diriwayatkan Tirmidzi, dan Hakim
menyatakan shahih sesuai kriteria Bukhari dan Muslim)
Sedangkan Ishak bin Rahaweh, mengatakan: “Telah
dinyatakan dalam hadits shahih dari Nabi bahwa orang yang meninggalkan
shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para
ahli ilmu semenjak dari zaman Nabi sampai sekarang, bahwa orang yang
sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu alasan sehinggga lewat
waktunya adalah kafir”.
Ibnu Hazm telah menuturkan, pendapat tersebut telah
dianut Umar, Abdrur Rahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah dan
para sahabat lainnya. Beliau menambahkan: “Dan sepengetahuan kami, tak
ada seorang pun di antara sahabat yang menyelisihi pendapat mereka ini.”
Keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al-Mundziri dalam
“At-Targhib wat Tarhib”, dan ditambahkan dari para sahabat adalah:
Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’.
Al-Mundziri berkomentar lebih lanjut: “Dan di antara para ulama yang
bukan dari shabat adalah: Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahaweh, Abdullah
bin Al-Mubarak, An-Nakhai, Al-Hakam bin Utaibah, Ayub As-Sikhtiyani,
Abu Daud At-Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb dan
lain-lain.”
Jika ada pertanyaan: Bagaimana bantahan Anda atas
dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat tidak kafir?
Jawab: Tidak disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa
orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, atau dia tetap seorang
mukmin, atau dia tidak masuk neraka, atau dia masuk surga dan
semisalnya.
Siapa saja yang memperhatikan dalil-dalil dengan
seksama dan jujur, akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar
dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertabrakan dengan dalil-dalil
yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang
meniggalkan shalat adalah kafir.
Bagian pertama: Hadits-hadits dha’if dan tidak jelas
orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai dasar
pegangan, namun tidak membawa hasil saja.
Bagian kedua: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang
menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini. Seperti
dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allah dalam surat
An-Nisa ayat 48. Yakni “dosa yang lebih kecil dari pada syirik” , bukan
“dosa yang selain syirik”, berdasarkan dalil bahwa orang yang
mendustakan apa yang diberitakan Allah dan RasulNya adalah kafir dengan
kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan
shalat tidak termasuk syirik. Andaikata kita menerima bahwa firman Allah
“Maa duuna dzaalika” berarti “dosa yang selain syirik” , niscaya inipun
termasuk dalam bab Al-Aam Al-Makhsus (dalil umum yang bersifat khusus)
dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang
menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni,
sekalipun tidak termasuk syirik.
Bagian ketiga: Dalil umum yang bersifat khusus,
dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat. Contohnya: Sabda Nabi dalam hadits yang tituturkan oleh Mu’adz
bin Jabal “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada Sesembahan
yang haq selaln Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya,
niscaya Allah mengharamkannya dari api neraka.” . Redaksi ini adalah
salah satu dari sekian hadits yang semakna, dan diriwayatkan pula
dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan
‘Itban bin Malik.
Bagian keempat: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalkan shalat.
Contohnya: Sabda Nabi dalam hadits yang dituturkan ‘Itban bin Malik: “Sesungguhnya
Allah mengharamkan terhadap neraka orang yang menyatakan: ‘Tidak ada
Sesembahan yang haq selain Allah’, dengan ikhlas semata-semata
mengharapkan perjumpaan dengan Allah.” (HR. Bukhari). Juga hadits yang dituturkan Mu’adz bin Jabal “Barangsiapa
yang bersaksi bahwasanya tidak ada Sesembahan yang haq selain Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah’ secara jujur dari lubuk hatinya, niscaya
Allah mengharamkannya dari api neraka.” (HR. Bukhari)
Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat
oleh keikhlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak
mungkin akan ditinggalkan. Karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam
pernyataannya, niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong
dirinya untuk melaksanakan shalat; dan tentu saja karena shalat adalah
salah satu sendi Islam serta media komunikasi antara hamba dan Tuhannya.
Maka jika ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu
akan berbuat apa saja yang dapat menghantarkannya ke tujuannya itu dan
menjauhi segala yang menjadi penghalangnya. Demikian pula orang yang
bersaksi: “Laa Ilaaha Illallaah wa Anna Muhammadur Rasuulullaah”
secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong
dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah
dan mengikuti tuntunan Rasulullah, karena hal itu termsuk syarat-syarat
syahadat yang benar.
Bagian kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad
(dibatasi) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk
meninggalkan shalat. Contohnya, hadits yang dituturkan Hudzaifah bin
Al-Yaman bahwa Rasul bersabda: “Akan hilang Islam ini sebagaimana
akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian … dan tinggallah beberapa
kelompok manusia, yaitu kaum lalaki dan wanita yang tua renta, mereka
berkata: “Kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “Laa
Ilaaha Illallaah” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka).” (HR. Ibnu Majah)
Shilah berkata kepada Hudzaifah: “Tidak berguna bagi
mereka kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” bila mereka tidak tahu apa itu
shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat”. Maka Hudzaifah
memalingkan mukanya dengan menjawab: “Hai Shilah, kalimat itu akan
menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulangkali dia katakan ucapan
itu kepada Shilah dan pada ucapan ketiga beliau ucapkan sambil menatap
Shilah.
Orang-orang yang selamat dari neraka dengan kalimat
syahadat saja ini, mereka itu dimaafkan untuk tidak melaksanakan
syari’at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang
mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja. Kondisi mereka
adalah serupa dengan kondisi orang yang meningggal dunia sebelum
diperintahkannya syari’at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk
mengerjakan syari’at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir
tetapi sebelum sempat mengenal syari’at ia meninggal dunia.
Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan
oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat
atau meninggalkannya, tidak dapat mematahkan dalil-dalil yang
dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan
shalat adalah kafir. Karena dalil-dalil yang mereka pergunakan dhaif
dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat
mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak
mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang
menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, attau dalil umum yang bersifat
khusus dengan adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang
meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak
dapat disanggah dan disangkal lagi. Untuk itu, harus dikenakan atas
diri orang yang meninggalkan shalat tersebut konsekuensi hukum karena
kekafiran dan ridddah (murtad keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip
“Hukum itu dinyatakan ada atau tidak sesuai illat (alasan)nya.”
BAGIAN KEDUA: KONSEKUENSI HUKUM KARENA MURTAD SEBAB MENINGGAL-KAN SHALAT ATAU SEBAB LAINYA.
Ada beberapa konsekuensi hukum bersifat duniawi dan ukhrawi yang terjadi karena murtad:
Pertama: konsekuensi hukum yang bersifat duniawi:
1-Kehilangan
haknya sebagai wali; maka dari itu, dia tidak boleh sama sekali
dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam
Islam. Dengan demikian tidak boleh dijadikan wali anak-anaknya atau yang
lain, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau puteri
orang lain yang di bawah kewaliannya.
Para ulama pakar fiqh kita telah menegaskan dalam
kitab-kitab mereka yang kecil ataupun yang besar, bahwa disyaratkan
beragama Islam bagi seorang wali jika mengawinkan wanita muslimah.
Mereka berkata: “Tidak sah orang kafir menjadi wali seorang wanita
muslimah”.
Ibnu Abbas berkata: “Tidak sah suatu perniakah
kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana; dan kebijaksanaan
yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang
paling hina dan rendah adalah kekafiran dan murtad dari Islam. Allah
berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 130 “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri ..”
2-Kehilangan haknya untuk mewarisi kaum kerabatnya;
sebab orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim, begitu pula orang
muslim tidak mewarisi orang kafir. Hal itu berdasarkan hadits menurut
penuturan Usamah bin Zaid, bahwa Nabi bersabda: “Tidak boleh orang muslim mewarisi orang kafir dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” (HR. Bukhari, Muslim dan perawi lainnya)
3-Dilarang memasuki kota Mekah dan tanah haramnya, berdasarkan firman Allah “Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis,
maka janganlah mereka mendekati Al-Masjid Al-Haram sesudah tahun ini …” (Taubah: 28)
4-Diharamkan hewan sembelihannya; seperti unta, sapi,
kambing dan hewan lainnya yang termasuk syarat bagi halalnya adalah
disembelih. Karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa
penyembelihnya harus seorang Muslim atau Ahlukitab (Yahudi dan Nasrani) .
adapun orang yang murtad, paganis, Majusi dan semisalnya; sembelihan
mereka tidak halal.
Al-Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan: “Para
ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang-orang Majusi dan semua ahli
syirik seperti kaum musyrikin Arab, para penyembah berhala dan mereka
yang tidak mempunyai kitab (yang turun dari langit), hukumnya haram”.
Sedangkan Imam Ahmad mengatakan: “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang
berpendapat selain demikian kecuali ahli bid’ah”.
5-Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya, Berdasarkan fiman Allah “Dan
janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di
antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka
mati dalam keadaan fasik”. (At-Taubah: 84). Juga firman Allah “Tidak
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik
itu adalah kaum kerabat(nya) sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang
musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permintaaan ampun dari
Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu
janji yang telah dikrarkannya kepada bapaknya itu. Tetapi ketika jelas
bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim
berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi penyantun.” (At-Taubah: 113-114)
Doa seseorang untuk memintakan ampun dari rahmat
untuk orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya
adalah pelanggaran dalam doa juga merupakan satu bentuk penghinaan
terhadap Allah dan penyimpangan dari tuntunan Nabi dan orang-orang
yang beiman.
Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan
hari kiamat mau mendoakan orang yang mati dalam keadaan kafir agar
diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah? sebagaimana
fimanNya “Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, makaikat-malaikatNya,
rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail; maka sesungguhnya Allah adalah musuh
orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 98)
Dalam ayat suci ini, Allah telah menjelaskan bahwa
Dia adalah musuh semua orang-orang kafir. Padahal termasuk kewajiban
bagi orang mukmin ialah berlepas diri dari setiap orang kafir, karena
firman Allah “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan
kaumnya: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah,
keuali Tuhan Yang menjadikan diriku; karena sesungguhnya Dia akan
memberi hidayah kepadaku’.” (Az-Zukhruf: 26-27) Demikian pula firmanNya “Sesungguhnya
telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka; ‘Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain
Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata di antara kami
dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian
beriman kepada Allah saja …’.”(AL-Mumtahanah:4)
Untuk mencapai tingkatan demikian adalah dengan mutaba’ah (mengambil suri teladan) kepada Nabi . Allah berfiman: “Dan
(inilah) suatu permakluman dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia
pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas
diri dari orang-orang musyrik …” (At-Taubah: 3)
Dan di antara tali iman yang paling kuat ialah,
“mencintai semata karena Allah, membenci semata karena Allah, membela
semata karena Allah dan memusuhi semata karena Allah”. kecintaan,
kebencian, pembelaan dan permusuhan saudara hendaknya selaras dengan
ridha Allah ‘Azza wa Jalla.
6-Dilarang menikah dengan wanita muslimah; karena dia
telah kafir dan orang kafir haram menikahi wanita muslimah, sesuai
dengan nash dan ijma’. Allah berfiman: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila wanita-wanita yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu
dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka …..” (Al-Mumtahanah: 10)
Dalam kitab Al-Mughni 592/6 disebutkan: “Semua orang
kafir, selain Ahlikitab, tidak ada perbedaan pendapat di antara para
ulama, bahwa wanita-wanita dan sembelihan-sembelihan mereka haram bagi
orang Islam …, dan wanita murtad (berpindah agama dari Islam) ke agama
apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk
agama baru yang dianutnya itu. Sebab kalau diakui sejak semula sebagai
pemeluk agama itu, maka besar kemungkinan bisa dihalalkan.”
Dan disebutkan dalam bab: “Orang murtad” di kitab
yang sama 130/8 disebutkan “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya
karena tidak diakui secara hukum; dan selama tidak ada pengakuan hukum
untuk pernikahannya, maka dilarang pula pelaksanaan pernikahannya,
seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah”. Dalam kitab
“Majma’ul Anhar” bermadzhab Hanafi, pada akhir bab “Pernikahan orang
kafir” pada halaman 202/1 diterangkan: “Tidak sah bagi siapapun untuk
menikah dengan pria atau wanita yang murtad, berdasarkan ijma’ para
sahabat.”
Sebagaiman diketahui, telah dikemukakan dengan jelas,
bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad dan tidak sah kawin
dengan pria yang murtad. Dijelaskan pula dalam Al-Mughni halaman 298/6;
“Apabila salah seorang dari suami isteri murtad sebelum sang isteri
digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu dan masing-masing
pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain. Namun, jika murtad setelah
digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat; pertama, segera dipisahkan
dan kedua, ditunggu sampai habis masa iddah (tunggu)nya.”
Demikian pula pada halaman 639/6 disebutkan: “Batalnya pernikahan karena
murtad sebelum sang isteri digauli adalah pendapat yang dianut para
ulama pada umumnya berdasarkan dalil-dalil. Adapun bila terjadi setelah
digauli maka batallah pernikahan seketika itu menurut pendapat Imam
Malik dan Abu Hanifah, sedangkan menurut pendapat Imam Syafii, ditunggu
sampai habis masa iddah. Adapun menurut Imam Ahmad, ada dua riwayat
seperti kedua madzhab tersebut.”
Kemudian disebutkan pula pada halaman 640 “Apabila
suami isteri sama-sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnnya jika
salah satunya murtad. Jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan
(dipisahkan) antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera
diceraikan atau menunggu sampai habis iddah, menurut dua riwayat?
Demikian inilah madzhab Imam Syafii.”
Selanjutnya disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan
(kebijaksanaan yan diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu,
tanpa mengacu kepada nash), karena dengan demikian agama mereka tidak
berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama-sama beragama
Islam. Kemudian, analogi yang digunakannya inipun disanggah oleh Penulis
Al-Mughni dari segala segi dan aspeknya.
Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang
yang murtad dengan lelaki atau wanita yang beragama Islam tidak sah
berdasarkan dalil Qur’an dan Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat
adalah kafir berdasarkan dalil Qur’an dan Sunnah serta pendapat para
sahabat. Oleh karena itu nyatalah bahwa seseorang jika tidak shalat dan
mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah dan
tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini. Begitu pula
hukumnya, apabila pihak wanita yang meninggalkan shalat.
Hal ini berbeda dengan pernikahan orang-orang kafir
ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang pria kafir kawin
dengan wanita kafir kemudian sang isteri masuk Islam. Jika masuk Islam
sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi. Tapi jika masuk Islam
sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu; jika sang
suami masuk Islam sebelum habis masa iddahnya maka wanita tadi tetap
menjadi isterinya, tapi jika telah habis masa iddahnya dan sang suami
belum juga masuk Islam maka tidak ada hak lagi baginya terhadap
isterinya, karena dengan denmikian nyatalah bahwa pernikahannya telah
batal semenjak sang isteri masuk Islam.
Pada zaman Nabi ada sekian jumlah orang kafir yang
masuk Islam bersama isteri mereka dan pernikahan mereka tetap diakui
oleh Nabi (tanpa disuruh untuk mengulangi akad nikah baru). Kecuali
jika terdapat sebab tahrim (pelarangan), seperti apabila kedau suami
isteri berasal dari agama Majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang
terlarang di antara keduanya, maka saat keduanya masuk Islam diceraikan
ketika itu antara mereka berdua karena adanya sebab tahrim tersebut.
Masalah ini tidak seperti halnya masalah orang muslim
yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat kemudian kawin dengan
seorang wanita muslimah. Wanita muslimah itu tidak halal bagi orang yang
kafir berdasarkan nash dan ijma’ sebagaimana telah diuraikan di atas,
sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karenan murtad. Untuk itu, jika
seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya
batal dan wajib diceraikan antara keduanya. Jika pria itu masuk Islam
dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah
baru.
7-Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dan perkawinannya dengan wanita muslimah.
Bagi pihak isteri, dengan alasan apapun maka
anak-anak terseut adalah tetap anaknya. Sedangkan menurut pendapat orang
yang mengatakan bahwa tidak kafir orang yang meninggalkan shalat, maka
anak itu adalah anak suaminya dan bagaimanapun dinasabkan kepadanya,
karena pernikahanya adalah sah.
Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan pendapat inilah yang benar
sebagaimana telah dijelaskan di atas, pada pasal pertama, maka kita
tinjau terlebih dahulu:
*- Jika sang suami tidak mengetahui bahwa pernikahan
itu batal , atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah
anaknya dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami isteri yang
dilakukannya dalam keadaan seperti itu adalah boleh menurut
keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat (yang meragukan) dan karenanya anak tadi diikutkan kepadanya dalam nasab.
*- Namun jika sang suami mengetahui serta meyakini
bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya,
karena tercipta dari sperma orang yang bernpendapat bahwa hubungan yang
dilakukannya adalah haram karena terjadi pada wanita yang tidak
dihalalkan baginya.
Kedua: konsekuensi hukum yang bersifat ukhrawi
1-Dicaci dan dihardik oleh para malaikat.
Bahkan –nanti- para malaikat memukuli seluruh tubuhnya dari bagian depan dan belakangnya. Allah berfirman: “Kalau
kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir
seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): ‘Rasakanlah
olehmu siksa neraka yang membakar’, (tentulah kamu akan merasa ngeri).
Demikianlah itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya
Allah sekali-kali tidak menganiaya hambaNya.” (Al-Anfal: 50-51)
2-Pada hari kiamat dikumpulkan bersama orang-orang
kafir dan musyrik karena dia termasuk golongan mereka. Allah berfirman:
“(Kepada para malaikat diperintahkan): ‘Kumpulkanlah orang-orang yang
zhalim beserta orang-orang yang sejenis mereka dan apa-apa yang menjadi
sembahan mereka, selain Allah; lalu tunjukkan kepada mereka jalan
menuju ke neraka.” (As-Shaaffaat: 22-23)
Kata “azwaj’ ialah bentuk jama’ dari kata “zauj” yang
berarti jenis atau macam. Yakni: “Kumpulkanlah orang-orang yang musyrik
dan orang-orang yang sejenis mereka seperti orang-orang yang kafir dan
yang zhalim lainnya.”
3-Kekal untuk selama-lamanya di dalam neraka. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir
dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang
pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka
dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: ‘Alangkah baiknya,
andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” (Al-Ahzab: 64-66)
KHATIMAH (PENUTUP RISALAH)
Hanya sampai di sini apa yang ingin Penulis sampaikan tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak kalangan.
Perlu diketahui bahwa pintu taubat masih terbuka bagi
siapapun yang hendak bertaubat. Karena itu, saudaraku seagama
bersegeralah untuk bertaubat kepada Allah dengan ikhlas semata untukNya,
menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak
mengulanginya lagi serta memperbanyak amal kebajikan sebagai gantinya.
Allah berfirman:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat,
beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka kejahatan mereka diganti Allah
dengan kebajikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya
dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 70-71)
Semoga Allah melimpahkan taufikNya kepada kita dalam
urusan ini, menunjukkan kita semua kepada jalanNya yang lurus, jalan
orang-orang yang dikaruniai kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi,
shiddiqin, syuhada’ dan shalihin; bukan jalan orang-orang yang dimurkai
(Yahudi) atau jalan orang-orang yang tersesat (kaum Nasrani).