Arsip Blog

Senin, 19 September 2011

Rabu, Juni 09, 2010

Al-Quran Diturunkan dengan Bahasa Arab

Rabu, Juni 09, 2010
Terdapat sebuah ungkapan masyhur yang dinisbatkan ke ulama klasik, yaitu “fil Qur`ân min kulli lisân”, yang terkadang disalahartikan dengan penafsiran bahwa di dalam Al-Quran terdapat lafaz atau huruf selain Arab. Arti yang benar dari ungkapan ini adalah, bahwa di dalam Al-Quran terdapat bahasa dan istilah yang juga terpakai oleh bangsa-bangsa selain Arab.


Artinya, bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab yang mana sebagian istilahnya dipakai juga oleh bangsa-bangsa selain Arab. Ulama klasik (salaf) tidak mungkin mengatakan suatu hal yang bertentangan dengan kesepakatan (konsensus) umat Islam secara keseluruhan. Jika ungkapan di atas diartikan seperti arti pertama, maka ungkapan ini menselisihi konsensus umat Islam, dan ulama klasik tidak mungkin –sekali lagi—bermaksud demikian.

Maka, arti yang benar adalah yang kedua tersebutkan di atas. Telah jelas disebutkan oleh para ulama dari dulu hingga sekarang bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. Barangsiapa yang menselisihinya, maka pendapatnya ditinggalkan.

Jika dikatakan: Apakah di dalam Al-Quran terdapat lafaz atau istilah selain bahasa Arab? Kita jawab sebagaimana Imam Ibnu Jarir Al-Thabari berkata: Bahwa seluruh lafaz di dalam Al-Quran adalah dari bahasa Arab, karena kebenaran ini yang akan bersesuaian dengan nas-nas Al-Quran itu sendiri. Beberapa lafaz atau istilah yang terkesan asing dan tidak meng-arab, maka sebenarnya kata-kata tersebut adalah dari bahasa Arab, hanya saja dipakai juga oleh bangsa-bangsa lain yang tinggal bertetangga dengan bangsa Arab.

Ketika suatu kata terpakai oleh bangsa selain Arab, seperti Persia, Romawi, Etiopia, dan lain-lain, maka kata tersebut akan dianggap sebagai bahasa mereka. Begitu juga dengan beberapa lafaz atau kata yang terdapat di dalam Al-Quran di mana kata tersebut diklaim berasal dari bahasa Persia, atau Romawi, atau Etiopia, atau selainnya. Menurut Imam Thabari, kata tersebut hakikinya adalah berasal dari bahasa Arab, hanya saja juga terpakai oleh bangsa lain dalam bahasa sehari-hari mereka.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kata-kata tersebut memang bukan berasal dari bahasa Arab yang kemudian diarabkan, atau kata-kata tersebut terambil dari bahasa-bahasa lain. Setelah arabisasi bahasa tersebut maka kata-kata itu menjadi bahasa Arab secara sah. Maka, tetap saja Al-Quran adalah berbahasa Arab, yaitu setelah arabisasi beberapa lafaznya.

Kepercayaan ini adalah yang disepakati oleh umat Islam dan para ulamanya sejak zaman dulu hingga sekarang, yakni bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. Nas-nas Al-Quran juga tersebutkan lebih dari satu jika hendak digunakan untuk dasar argumentasi secara yakin dan ilmiah untuk kebenaran ini.

Di antaranya jika disebutkan nas-nas tersebut, “wa mâ arsalnâ min rasûlin illâ bilisâni qaumihî liyubayyina lahum” (Ibrahim: 4), “Innâ ja’alnâhu qur`ânan arabiyyan” (Al-Zukhruf: 3), “walau ja’alnâhu qur`ânan a’jamiyyan laqâlû laulâ fusshilat âyâtuhû aa’jamiyyun wa arabiyyun” (Fushilat: 44), “bilisâni arabiyyin mubîn” (Al-Syu’ara: 195), dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang secara jelas menyatakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. Wallâhu A’lam.

(Diolah dari buku Raudhatut Thalibin fi Manahij Mufassirin karya Dr Abdul Fattah Abdul Ghaniy Al-Awary hal 185 dengan beberapa perubahan).


أُنزل القران باللغة العربية

ثمة عبارة شهيرة انتسبت إلى السلف تقول: فى القران من كل لسان, حيث فسرها خطأ بعض بأن فى القران لفظ أو حرف غير عربية أللهم إلا أن معناها الصحيح هو أن فى القران الألفاظ العربية و قد اُستعمل بعضها عند غير العرب.

هذا يعنى أن القران قد نزّله ربنا سبحانه و تعالى باللغة العربية كما قلنا ولكن قد اُستعمل بعض ألفاظها عند غير العرب من الأمم و الشعوب المجاورة لها. وكانت تلك العبارة المنتسبة إلى السلف لا يمكن أن تتعارض مع إجماع الأمة الإسلامية أجمعين ولو أنها فسرت بالمعنى الأول يعنى الخطأ فهى تناقض ما تقرر فى الإجماع و استبعد السلف من ذلك فى أية حال من الأحوال.

وإن كان كذالك فيكون معناها الصحيح ليس هو إلا الثانى مذكورا ولقد ذكر علماء الأمة قديما وحديثا أن القران إنما أنزل باللغة العربية من لدن الخالق السميع الحكيم فمن خالف هذا القول الحق فوهمه الذليل إنما متروك لا يؤخذ بلا بد.

فإن قيل: هل هناك ألفاظ غير عربية فى القران؟ نقول كما أفاده الإمام الجليل المفسر ابن جرير الطبرى طيب الله أثره حيث يقول: كل لفظ فى القران عربية و هذه الحقيقة التى تتناسب مع نصوص القران المذكورة فى غير موضع. وكان لفظ يوهم به أنه دخيل و ليس عربية فالصحيح أنه عربية بحتة إلا أنه قد استعمل عند الأمم التى تجاور العرب.

إذا كانت بعض الألفاظ مستعملة عند الأمم غير العرب أمثال الفرس و الروم و الحبشة و غيرهم فى أحاديثهم و أساليبهم و كلامهم هى معدودة من لغاتهم و كلامهم وأساليبهم بطبيعة الحال وكذالك ما فى القران حيث توجد هذه الألفاظ المستعملة عند الغير إذن هى كما زعمه من ليس له نور البصيرة مأخوذة من لغاتهم وليست عربية. و فى هذا رأى الإمام الطبرى رحمه الله أن تلك الألفاظ أصلها و حقيقتها عربية إلا أنها قد استعملت عند الأقوام غير العرب فى أحاديثهم و مصطلحاتهم.   

وهناك قول اخر عند العلماء أن تلك الألفاظ هى غير عربة مأخوذة من الأقوام غير العرب ثم عُرّبت وكانت بعد تعريب هذه الألفاظ تكون هى من عدد الألفاظ العربية الفصيحة. و اعتمادا على هذا لا نزال نوافق مع الحق بفضل الله يعنى أن القران إنما هو باللغة العربية ولكن ما بعد التعريب.

هذه الحقيقة هى نقطة الاتفاق بين الأمة الإسلامية و علماؤهم قديما و حديثا شرقا و غربا حيث قد أُنزل القران باللغة العربية البيّنة الواضحة بل هناك نصوص قرانية متكاثرة قد ذكرت غير واحدة لتكون أسسا علمية يقينية عليها فلا داعى بعدها للمخالفين المذمومين.

مثل قول عزّ مِن قائل فى سورة إبراهيم الاية 4: و ما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم, و قوله عزّ شأنه فى سورة الزخرف الاية 3: إنا جعلناه قرانا عربيا, و قوله تعالى فى سورة فصلت الاية 44: ولو جعلناه قرانا أعجميا لقالوا لو لا فصلت اياته أ أعجمى و عربى, و قوله سبحانه وتعالى فى سورة الشعراء الاية 195: بلسان عربى مبين, وغيرها من الايات القرانية الكريمة المتعددة التى تنص فى غاية الوضوح و الظهور أن القران إنما أنزل باللغة العربية. والله أعلم بالصواب.

(منقول من كتاب روضة الطالبين فى مناهج المفسرين ص 185 تأليف الدكتور عبد الفتاح عبد الغنى العوارى بالتصرف).



Al-Quran was revealed in Arabic

There is a famous statement belonged predecessor says: In the Holy Quran from every tongue, as interpreted wrongly by some that in Al-Quran there are letters of the word non-Arab while the correct meaning is that the words in Al-Quran are Arabic and have used each other by non-Arabs.

This means that Al-Quran which has revealed by our Lord Almighty, as we said, is in Arabic, but some words might be used with non-Arab nations and neighboring peoples. The phrase associated with the predecessors can not be inconsistent with the consensus of the Islamic nation. If they interpreted it in the first meaning, the error, they are contrary to what was decided in consensus and the predecessors might not mean that in any case.

Thus, the true meaning is the second mentioned above, and it has been mentioned by Islamic scholars, past and present, that the Qur'an was revealed in Arabic. It is wise to say that who violates this right, his statement will not be taken up with a must.

If someone said: Are there any words of non-Arab in the Qur'an? We say, as the prominent interpreter informed, Imam Ibn Jarir al-Tabari, may God bless him, who said: Every word in the Quran is Arabic and this fact commensurate with the texts mentioned in the Qur’an in more than one place. The word that likely taken by an outsider and not Arabic, the correct view must say that the word is a purely Arab, but it may use as united word for the clans which border the Arabs.

If certain words used in the non-Arabs such as Persians, Romans, Ethiopia, and others in their speeches and terms, of course they are acclaimed as their own language and words. Also to what in the Qur’an, where there are these words that used in others, therefore, who he has no the right view claims that they are derived from not Arab languages. In this case, Imam al-Tabari, Allah's mercy to him, said that those words are originally Arabic, but they may used by non-Arab clans in their conversations and terms.

There is an opinion when the other scholars said that such words are taken from the non-Arab clans and were later donated to the arabization so these terms are put in number of words of Arab eloquence. Based on this opinion, we still agree with the right, with God’s bless, which says that the Qur’an is in Arabic, but after arabization.

This fact is the point of agreement between Muslims and theirs scholars, past and present, east and west, where the Qur’an was revealed in Arabic. Moreover, there are clear evidences of Qur’an texts said not in one place to be the scientific and true argument for this truth then there is no need to listen who argues it.

Like saying in Ibrahim chapter, verse 4: And We sent not a messenger except with the language of his people in order that he might make (the message) clear for them, and in Al-Zukhruf verse 3: Verily, We have made it a Qur’an in Arabic that you may be able to understand (it), and in Fusshilat verse 44: And if We had sent this as a Qur’an in a foreign language (other than Arabic), they would have said: Why are not its verses explained in detail (in our language)? What! (A Book) not in Arabic and the (Messenger) an Arab? And Allah’s saying in Al-Syu’ara verse 195: in the plain Arabic tongue, and many other verses of the Qur’an, which state in very clear and appearing that the Qur'an was revealed in Arabic. Allah knows best what is correct.

2 komentar:

 
Terdapat sebuah ungkapan masyhur yang dinisbatkan ke ulama klasik, yaitu “fil Qur`ân min kulli lisân”, yang terkadang disalahartikan dengan penafsiran bahwa di dalam Al-Quran terdapat lafaz atau huruf selain Arab. Arti yang benar dari ungkapan ini adalah, bahwa di dalam Al-Quran terdapat bahasa dan istilah yang juga terpakai oleh bangsa-bangsa selain Arab.


Artinya, bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab yang mana sebagian istilahnya dipakai juga oleh bangsa-bangsa selain Arab. Ulama klasik (salaf) tidak mungkin mengatakan suatu hal yang bertentangan dengan kesepakatan (konsensus) umat Islam secara keseluruhan. Jika ungkapan di atas diartikan seperti arti pertama, maka ungkapan ini menselisihi konsensus umat Islam, dan ulama klasik tidak mungkin –sekali lagi—bermaksud demikian.

Maka, arti yang benar adalah yang kedua tersebutkan di atas. Telah jelas disebutkan oleh para ulama dari dulu hingga sekarang bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. Barangsiapa yang menselisihinya, maka pendapatnya ditinggalkan.

Jika dikatakan: Apakah di dalam Al-Quran terdapat lafaz atau istilah selain bahasa Arab? Kita jawab sebagaimana Imam Ibnu Jarir Al-Thabari berkata: Bahwa seluruh lafaz di dalam Al-Quran adalah dari bahasa Arab, karena kebenaran ini yang akan bersesuaian dengan nas-nas Al-Quran itu sendiri. Beberapa lafaz atau istilah yang terkesan asing dan tidak meng-arab, maka sebenarnya kata-kata tersebut adalah dari bahasa Arab, hanya saja dipakai juga oleh bangsa-bangsa lain yang tinggal bertetangga dengan bangsa Arab.

Ketika suatu kata terpakai oleh bangsa selain Arab, seperti Persia, Romawi, Etiopia, dan lain-lain, maka kata tersebut akan dianggap sebagai bahasa mereka. Begitu juga dengan beberapa lafaz atau kata yang terdapat di dalam Al-Quran di mana kata tersebut diklaim berasal dari bahasa Persia, atau Romawi, atau Etiopia, atau selainnya. Menurut Imam Thabari, kata tersebut hakikinya adalah berasal dari bahasa Arab, hanya saja juga terpakai oleh bangsa lain dalam bahasa sehari-hari mereka.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kata-kata tersebut memang bukan berasal dari bahasa Arab yang kemudian diarabkan, atau kata-kata tersebut terambil dari bahasa-bahasa lain. Setelah arabisasi bahasa tersebut maka kata-kata itu menjadi bahasa Arab secara sah. Maka, tetap saja Al-Quran adalah berbahasa Arab, yaitu setelah arabisasi beberapa lafaznya.

Kepercayaan ini adalah yang disepakati oleh umat Islam dan para ulamanya sejak zaman dulu hingga sekarang, yakni bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. Nas-nas Al-Quran juga tersebutkan lebih dari satu jika hendak digunakan untuk dasar argumentasi secara yakin dan ilmiah untuk kebenaran ini.

Di antaranya jika disebutkan nas-nas tersebut, “wa mâ arsalnâ min rasûlin illâ bilisâni qaumihî liyubayyina lahum” (Ibrahim: 4), “Innâ ja’alnâhu qur`ânan arabiyyan” (Al-Zukhruf: 3), “walau ja’alnâhu qur`ânan a’jamiyyan laqâlû laulâ fusshilat âyâtuhû aa’jamiyyun wa arabiyyun” (Fushilat: 44), “bilisâni arabiyyin mubîn” (Al-Syu’ara: 195), dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang secara jelas menyatakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab. Wallâhu A’lam.

(Diolah dari buku Raudhatut Thalibin fi Manahij Mufassirin karya Dr Abdul Fattah Abdul Ghaniy Al-Awary hal 185 dengan beberapa perubahan).


أُنزل القران باللغة العربية

ثمة عبارة شهيرة انتسبت إلى السلف تقول: فى القران من كل لسان, حيث فسرها خطأ بعض بأن فى القران لفظ أو حرف غير عربية أللهم إلا أن معناها الصحيح هو أن فى القران الألفاظ العربية و قد اُستعمل بعضها عند غير العرب.

هذا يعنى أن القران قد نزّله ربنا سبحانه و تعالى باللغة العربية كما قلنا ولكن قد اُستعمل بعض ألفاظها عند غير العرب من الأمم و الشعوب المجاورة لها. وكانت تلك العبارة المنتسبة إلى السلف لا يمكن أن تتعارض مع إجماع الأمة الإسلامية أجمعين ولو أنها فسرت بالمعنى الأول يعنى الخطأ فهى تناقض ما تقرر فى الإجماع و استبعد السلف من ذلك فى أية حال من الأحوال.

وإن كان كذالك فيكون معناها الصحيح ليس هو إلا الثانى مذكورا ولقد ذكر علماء الأمة قديما وحديثا أن القران إنما أنزل باللغة العربية من لدن الخالق السميع الحكيم فمن خالف هذا القول الحق فوهمه الذليل إنما متروك لا يؤخذ بلا بد.

فإن قيل: هل هناك ألفاظ غير عربية فى القران؟ نقول كما أفاده الإمام الجليل المفسر ابن جرير الطبرى طيب الله أثره حيث يقول: كل لفظ فى القران عربية و هذه الحقيقة التى تتناسب مع نصوص القران المذكورة فى غير موضع. وكان لفظ يوهم به أنه دخيل و ليس عربية فالصحيح أنه عربية بحتة إلا أنه قد استعمل عند الأمم التى تجاور العرب.

إذا كانت بعض الألفاظ مستعملة عند الأمم غير العرب أمثال الفرس و الروم و الحبشة و غيرهم فى أحاديثهم و أساليبهم و كلامهم هى معدودة من لغاتهم و كلامهم وأساليبهم بطبيعة الحال وكذالك ما فى القران حيث توجد هذه الألفاظ المستعملة عند الغير إذن هى كما زعمه من ليس له نور البصيرة مأخوذة من لغاتهم وليست عربية. و فى هذا رأى الإمام الطبرى رحمه الله أن تلك الألفاظ أصلها و حقيقتها عربية إلا أنها قد استعملت عند الأقوام غير العرب فى أحاديثهم و مصطلحاتهم.   

وهناك قول اخر عند العلماء أن تلك الألفاظ هى غير عربة مأخوذة من الأقوام غير العرب ثم عُرّبت وكانت بعد تعريب هذه الألفاظ تكون هى من عدد الألفاظ العربية الفصيحة. و اعتمادا على هذا لا نزال نوافق مع الحق بفضل الله يعنى أن القران إنما هو باللغة العربية ولكن ما بعد التعريب.

هذه الحقيقة هى نقطة الاتفاق بين الأمة الإسلامية و علماؤهم قديما و حديثا شرقا و غربا حيث قد أُنزل القران باللغة العربية البيّنة الواضحة بل هناك نصوص قرانية متكاثرة قد ذكرت غير واحدة لتكون أسسا علمية يقينية عليها فلا داعى بعدها للمخالفين المذمومين.

مثل قول عزّ مِن قائل فى سورة إبراهيم الاية 4: و ما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم, و قوله عزّ شأنه فى سورة الزخرف الاية 3: إنا جعلناه قرانا عربيا, و قوله تعالى فى سورة فصلت الاية 44: ولو جعلناه قرانا أعجميا لقالوا لو لا فصلت اياته أ أعجمى و عربى, و قوله سبحانه وتعالى فى سورة الشعراء الاية 195: بلسان عربى مبين, وغيرها من الايات القرانية الكريمة المتعددة التى تنص فى غاية الوضوح و الظهور أن القران إنما أنزل باللغة العربية. والله أعلم بالصواب.

(منقول من كتاب روضة الطالبين فى مناهج المفسرين ص 185 تأليف الدكتور عبد الفتاح عبد الغنى العوارى بالتصرف).



Al-Quran was revealed in Arabic

There is a famous statement belonged predecessor says: In the Holy Quran from every tongue, as interpreted wrongly by some that in Al-Quran there are letters of the word non-Arab while the correct meaning is that the words in Al-Quran are Arabic and have used each other by non-Arabs.

This means that Al-Quran which has revealed by our Lord Almighty, as we said, is in Arabic, but some words might be used with non-Arab nations and neighboring peoples. The phrase associated with the predecessors can not be inconsistent with the consensus of the Islamic nation. If they interpreted it in the first meaning, the error, they are contrary to what was decided in consensus and the predecessors might not mean that in any case.

Thus, the true meaning is the second mentioned above, and it has been mentioned by Islamic scholars, past and present, that the Qur'an was revealed in Arabic. It is wise to say that who violates this right, his statement will not be taken up with a must.

If someone said: Are there any words of non-Arab in the Qur'an? We say, as the prominent interpreter informed, Imam Ibn Jarir al-Tabari, may God bless him, who said: Every word in the Quran is Arabic and this fact commensurate with the texts mentioned in the Qur’an in more than one place. The word that likely taken by an outsider and not Arabic, the correct view must say that the word is a purely Arab, but it may use as united word for the clans which border the Arabs.

If certain words used in the non-Arabs such as Persians, Romans, Ethiopia, and others in their speeches and terms, of course they are acclaimed as their own language and words. Also to what in the Qur’an, where there are these words that used in others, therefore, who he has no the right view claims that they are derived from not Arab languages. In this case, Imam al-Tabari, Allah's mercy to him, said that those words are originally Arabic, but they may used by non-Arab clans in their conversations and terms.

There is an opinion when the other scholars said that such words are taken from the non-Arab clans and were later donated to the arabization so these terms are put in number of words of Arab eloquence. Based on this opinion, we still agree with the right, with God’s bless, which says that the Qur’an is in Arabic, but after arabization.

This fact is the point of agreement between Muslims and theirs scholars, past and present, east and west, where the Qur’an was revealed in Arabic. Moreover, there are clear evidences of Qur’an texts said not in one place to be the scientific and true argument for this truth then there is no need to listen who argues it.

Like saying in Ibrahim chapter, verse 4: And We sent not a messenger except with the language of his people in order that he might make (the message) clear for them, and in Al-Zukhruf verse 3: Verily, We have made it a Qur’an in Arabic that you may be able to understand (it), and in Fusshilat verse 44: And if We had sent this as a Qur’an in a foreign language (other than Arabic), they would have said: Why are not its verses explained in detail (in our language)? What! (A Book) not in Arabic and the (Messenger) an Arab? And Allah’s saying in Al-Syu’ara verse 195: in the plain Arabic tongue, and many other verses of the Qur’an, which state in very clear and appearing that the Qur'an was revealed in Arabic. Allah knows best what is correct.

(Transmitted with some changes from the book of Students Park for Interpreters Methodologies, page 185, by Dr. Abdel-Fattah Abdel-Ghany Alawary).


Minggu, 18 September 2011

Jika Suami Tidak Memberi Nafkah


BISMILLAHIR ROHMANIR ROHIEM

Segala puji hanya milik Allah. Kami memujiNya, memohon pertolonganNya, memohon ampunanNya dan bertaubat kepadaNya. Demikian pula kami selalu berlindung diri kepadaNya dari kejahatan jiwa dan perbuatan buruk kami. Siapa saja yang diberi hidayah oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya, dan siapa saja yang disesatkan oleh Allah maka tiada yang bisa menunjukinya. Saya bersaksi, tidak ada Tuhan yang disembah secara haq melainkan hanya Allah, tiada sekutu bagiNya. Dan saya bersaksi bahwasanya Muhammad r itu adalah hamba Allah dan utusanNya. Shalawatullah semoga senantiasa dilimpahkan kepada beliau, keluarganya, para sahabatnya dan segenap umat yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Amma ba’du; Sungguh belakangan ini kaum muslimin telah meremehkan shalat dan bahkan sebagian dari mereka telah meninggalkannya secara mutlaq (keseluruhan). Saat masalah ini termasuk masalah besar yang telah menimpa umat dewasa ini dan para ulama saling berbeda pendapat dalam menghukumi mereka –ulama tempo dulu atau sekarang-, maka saya terdorong untuk memulis risalah ringkas ini.
Pembicaraan mengenai masalah ini terbagi menjadi dua bagian: 1) Mengenai hukum orang yang meninggalkan shalat. 2) Hukum murtad yang menimpa setiap orang yang tidak mau shalat dan hukum-hukum terkait.
BAGIAN PERTAMA: HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT.
Sungguh hal ini merupakan salah satu masalah ilmiyah yang besar. Sungguh telah berbeda pendapat dalam menilai masalah ini para ulama, sejak dulu hingga sekarang. Imam Ahmad bin Hambal berpendapat: “Orang yang tidak shalat adalah kafir keluar dari Islam, ia boleh dibunuh jika tidak bertaubat dan tidak mendirikan shalat.” Sedangkan Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat:: “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasiq bukan kafir”. Kemudian mereka (bertiga) berselisih pendapat mengenai balasannya, maka Imam Malik dan Syafii berpendapat: “Ia dibunuh sebagai balasannya”, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat: “Ia dita’zir (seperti dipenjara atau pelajaran yang lain hingga ia jera) tidak dibunuh”.
Jika memang perkara ini adalah salah satu masalah yang dipertentangkan hukumnya, maka wajib dikembalikan kepada Qur’an dan Hadits. Sebagaimana ayat: “Tentang suatu apapun yang kalian perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah..” (Asy-Syura: 10), dan ayat: “Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya “ (An-Nisa’: 59). Demikian pula jika pendapat masing-masing yang berseberangan itu tidak ada yang lebih kuat, sedangkan masing-masing mengklaim yang benar, padahal kesemuanya tidak ada yang lebih berhak untuk diterima. Oleh karena itu, wajib meruju’ dan kembali kepada hakim jujur yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul. Apabila kita kembalikan masalah ini kepada Kitabullah dan Hadits, maka kita temukan nash-nash padanya menerangkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dan dinyatakan keluar dari Islam.
Dalil pertama: Dari Kitabullah (Qur’an):
Allah berfirman: “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.. (At-Taubah: 11)
Lalu datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesaatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dirugikan sedikitpun.” (Maryam: 59-60)
Arah dilalah dari ayat kedua adalah: Saat Allah menyinggung mengenai orang-orang yang menyepelekan shalat dan menuruti nafsunya, Allah memperkecualikan “orang yang bertaubat dan beriman”. Hal ini menunjukkan bahwa ketika mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya mereka bukan mukmin lagi, berarti telah kafir. Sedangkan arah dilalah dari ayat pertama ialah bahwasanya Allah menggariskan syarat-syarat dalam menjalin persaudaraan dengan kaum musyrikin yaitu mereka harus bertobat dari kesyirikan, harus mendirikan shalat dan wajib menunaikan zakat. Oleh karena itu, jika mereka bertobat dari kesyirikan tidak mendirikan shalat dan tidak membayar zakat, maka mereka bukan saudara kita. Jika mereka hanya mendirikan shalat dan tidak menunaikan zakat, maka tidak termasuk saudara kita. Ukhuwah (persaudaraan) dalam agama tidak hilang kecuali dengan hal-hal yang mengeluarkan seseorang secara keseluruhan. Maka dari itu, ikatan ukhuwah tidak hilang dengan kefasikan dan kufur yang tidak mengeluarkan dari Islam. Perhatikan ayat qisos yang berarti “Maka barangsiapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (Al-Baqarah: 178). Dalam ayat ini Allah menjadikan pembunuh dengan sengaja tetap saudara dari orang yang membunuhnya, padahal membunuh secara sengaja termasuk salah satu dosa besar sesuai ayat “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnyadan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93). Perhatikan pula ayat yang menerangkan dua golongan dari kaum mukminin yang berperang: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adllah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…” (Al-Hujurat: 9-10), Allah tetap menetapkan ukhuwah di antara kelompok yang mendamaikan dan dua kelompok yang bertikai saling membunuh, padahal sudah jelas memerangi orang mukmin adalah termasuk kufur seperti sabda Nabi : “Mencela seorang muslim hukumnya fasik, sedangkan memeranginya adalah kufur” (HR. Bukhari dari Ibnu Mas’ud). Hanya saja kufur tersebut tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, karena jika mengeluarkannya dari agama niscaya tidak tersisa sedikitpun ukhuwah Islamiyah dengannya.
Dengan hal-hal di atas, jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur dan keluar dari agama Islam. Sebab jika hanya fasik atau kufur di bawah kufur (kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam) niscaya tidak ikut hilang ukhuwah Islamiyah seperti kasus sebab membunuh dan atau memerangi seorang mukmin.
Jika ada pertanyaan; Apakah orang yang tidak membayar zakat itu kafir? Seperti yang tersurat dalam ayat taubat? Jawabannya ialah: Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir. Demikian ini juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Tapi yang rajih menurut saya adalah ia tidak kafir, hanya saja perlu dihukum berat seperti termaktub dalam ayat dan hadits. Di antaranya ialah hadits Nabi  “Kemudian dia akan melihat jalannya, ke surga atau ke neraka” (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat adalah tidak kafir, sebab jika dia telah kafir maka tidak ada baginya jalan ke surga. Mantuq ( hal yang tersurat) hadits ini di dahulukan dari mafhum (hal yang tersirat) ayat taubat. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh.
Dalil kedua dari Hadits:
Sesungguhnya jarak pemisah antara seseorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah)
Perjanjian di antara kita dengan mereka (kaum kafir) adalah shalat. Maka siapa saja yang meninggalkannya sungguh dia telah kafir” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah dari Buraidah)
Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur yang mengeluarkan dari Islam. Karena Nabi  menjadikan shalat sebagai pembatas antara kaum mukminin dengan kafirin. Seperti yang kita ketahui bahwa agama kafir bukan agama Islam. Oleh karena itu setiap orang yang tidak memenuhi perjanjian ini adalah kafir.
Akan ada para pemimpin, di antara kalian ada yang mengetahui dan menolak (kemungkaran-kemungkarannya). Siapa saja yang mengetahuinya maka dia bebas dan yang mengingkari selamat tetapi yang rela dan mengikutinya (tidak akan bebas dan selamat).” Para sahabat bertanya: “Bolehkah kami memeranginya?” Beliau menjawab: “Tidak, selama mereka mendirikan shalat.” (HR. Muslim dari Ummi Salamah)
“Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian dan mendoakan kalian dan kalian juga mendoakan mereka. Sedangkan pemimpin yang terburuk ialah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat (mencerca)nya dan mereka melaknat kalian”. ditanyakan: Ya Rasul, bolehkah kami menentangnya dengan pedang? Beliau menjawab: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di antara kalian.” (HR. Muslim dari ‘Auf bin Malik)
Dalam dua buah hadits di atas, terdapat dalil tentang boleh menentang pemimpin dan memeranginya jika dia tidak shalat. Tapi jika dia shalat maka tidak boleh menentang dan memeranginya kecuali memang ketahuan jelas kekufurannya dan terdapat burhan (bukti kuat) dari Allah, karena ucapan Ubadah bin Shamit : “Nabi mengajak kami, lalu kami berbaiat kepadanya. Di antara materi baiat tersebut adalah: kami membaiat beliau untuk senantiasa mendengar dan taat (kepatuhan total) baik dalam keadaan giat, terpaksa, kesulitan atau kemudahan, dan mengutamakan beliau dari kami sendiri serta tidak menentang penguasa.” Beliau bersabda: “Kecuali kalian lihat mereka (para penguasa) tadi jelas-jelas kafir dan ada burhan (dalil kuat) dari Allah” (HR. Muttaqaq ‘Alaih). Berdasarkan hadits ini maka jelaslah, perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi  sebagai alasan untuk menentang dan memranginya adalah kekufuran yang sangat jelas menurut kami dan ada bukti kuat dari Allah.
Tidak ada satu nash-pun dalam Qur’an dan Hadits yang menyebutkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah mukmin. Kalaupun ada hanyalah nash-nash yang menunjukkan tentang keutamaan tauhid, syahadat “tidak ada Tuhan yang disembah dengan haq melainkan Allah dan Muhammad adalah utusanNya” dan pahala yang terkandung di dalamnya. Namu nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu senddiri yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu dipahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus lebih didahulukan dan diutamakan daripada dalil yang umum.
Jika ada pertanyaan: Apakah nash-nash yang menunujukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat tidak boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum wajibnya?
Jawab: Hal itu tidak boleh, karena akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya; yaitu pertama: Menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah telah menetapkan hukum “kafir” atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari hukum wajibnya. Demikian pula menetapkan “ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seagama)” atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui hukum wajibnya. Allah tidak berfirman: “Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi pun tidak bersabda: “Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari shalat”, atau “Perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat; barangsiapa yang mengingkari hukum wajibnya maka dia telah kafir””.
Seandainya pengertian ini ialah yang dimaksud oleh Allah dan RasulNya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa Qur’an. Allah berfirman:
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …” (An-Nahl: 89)
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Qur’an), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka .. (An-Nahl: 44)
Sedang yang kedua: Menjadikan atribut yang tidak ditetapkn oleh Allah sebagai landasan hukum.
Mengingkari hukum wajib shalat lima waktu tentu menyebabkan kekufuran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak.
Kalau ada seseorang mengerjakan shalat lima waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, hal-hal yang wajib dan sunnatnya, namun dia mengingkari bahwa shalat adalah wajib, tanpa ada suatu alasan apapun baginya dalam hal ini, maka orang itu kafir sekalipun dia tidak meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa tidak benar, jika nash-nash tersebut dikenakan pada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari hukum wajibnya. Yang benar adalah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan dari ‘Ubadah bin Shamit ia menuturkan, Rasulullah  telah berwasiat kepada kita: “Janganlah kalian berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kalian sengaja meninggalkan shalat. Barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar dari Islam
Demikian pula jika hadits ini kita kenakan pada yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam nash-nash tersebut, tidak ada gunanya sama sekali. Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa dan haji. Barangsiapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya adalah kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui.
Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil sam’i atsari (Qur’an dan Sunnah) maka menurut dalil aqli nazhari (logika) pun juga demikian.
Bagaimana seseorang dikatakan mempunyai iman, sementara dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama, dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman agar segera melaksanakan dan mengerjakannya, serta ancaman terhadap orang yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang meningggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.
Jika ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagi kufur nikmat, bukan kufur millah (kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya di bawah kufur akbar, seperti halnya kekafiran yang tersebut dalam hadits: “Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan satu kekafiran bagi mereka, yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang mati.” Dan hadits: “Menghina seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adlaah kekafiran.” serta hadits:-hadits yang lain.
Jawab: Pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena beberapa alasan: Pertama: Bahwa Nabi  telah menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Sedangkan batas ialah sesuatu yang membedakan apa yang dibatasi serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi berlainan dan tidak bercampur antara satu dengan yang lain. Kedua: Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang yang meninggalkannya berarti kafir yang keluar dari Islam, karena dia telah menghancurkan salah satu sendi Islam; berbeda halnya dengan penyebutan kafir terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran. Ketiga: Ada nash-nash lain yang menunjukkan bahwa setiap orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang mengeluarknnya dari Islam. Oleh karena itu, kekafiran ini harus dipahami sesuai dengan arti yang terkandung, sehingga nash-nash itu akan sinkron dan tidak saling bertentangan. Keempat: Penggunaan kata “kufr” berbeda-beda. Misalnya tentang meninggalkan shalat beliau bersabda: “(Batas pemisah) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran ..” di sini digunakan artikel “al” dalam bentuk ma’rifah (definite) yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kufr ini ialah kekafiran yang sebenarnya, berbeda dengan penggunaan kata kufr secara nakirah (indefinite) atau “kafar” dengan bentuk kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari hadits: “Ada dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka ..”, artinya kedua sifat ini adalah suatu bentuk kekafiran yang masih terdapat pada manusia. Jadi, kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tapi masih terdapat pada manusia. Namun, tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu cabang kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu juga, tidak setiap orang yang terdapat dalam dirinya sala satu cabang keimanan dengan sendirinya menjadi mukmin, penggunaan kata “al-kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan artikel al) sebagiamna disebut dalam hadits: “Tidak ada (batas pemisah) antara seseorang dengan kekafiran atau kesyirikan kecuali meningggalkan shalat.” . Berbeda dengan kata “kufr” dalam bentuk nakirah (tapa artikel al) yang digunakan dalam kalimat positif.”
Jika telah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil ini. Maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy-Syafii sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah: “Lalu datanglah sesudah mereka, generasi (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya ..” (Maryam: 59) Demikian pula disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam “Kitabus Shalat” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Imam As-Syafii. Imam At-Thahawi juga menukilkan demikian. Memang pendapat inilah yang dianut oleh sebagian besar sahabat. Bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini merupakan ijma’ (konsensus, kesepakatan) para sahabat.
Abdullah bin Syaqiq mengatakan: “Para sahabat Nabi berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir selain shalat.” (Diriwayatkan Tirmidzi, dan Hakim menyatakan shahih sesuai kriteria Bukhari dan Muslim)
Sedangkan Ishak bin Rahaweh, mengatakan: “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dari Nabi  bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh para ahli ilmu semenjak dari zaman Nabi  sampai sekarang, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu alasan sehinggga lewat waktunya adalah kafir”.
Ibnu Hazm telah menuturkan, pendapat tersebut telah dianut Umar, Abdrur Rahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah dan para sahabat lainnya. Beliau menambahkan: “Dan sepengetahuan kami, tak ada seorang pun di antara sahabat yang menyelisihi pendapat mereka ini.” Keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al-Mundziri dalam “At-Targhib wat Tarhib”, dan ditambahkan dari para sahabat adalah: Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’. Al-Mundziri berkomentar lebih lanjut: “Dan di antara para ulama yang bukan dari shabat adalah: Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahaweh, Abdullah bin Al-Mubarak, An-Nakhai, Al-Hakam bin Utaibah, Ayub As-Sikhtiyani, Abu Daud At-Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb dan lain-lain.”
Jika ada pertanyaan: Bagaimana bantahan Anda atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir?
Jawab: Tidak disebutkan dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak kafir, atau dia tetap seorang mukmin, atau dia tidak masuk neraka, atau dia masuk surga dan semisalnya.
Siapa saja yang memperhatikan dalil-dalil dengan seksama dan jujur, akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertabrakan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meniggalkan shalat adalah kafir.
Bagian pertama: Hadits-hadits dha’if dan tidak jelas orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat dijadikan sebagai dasar pegangan, namun tidak membawa hasil saja.
Bagian kedua: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut dalam masalah ini. Seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 48. Yakni “dosa yang lebih kecil dari pada syirik” , bukan “dosa yang selain syirik”, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan RasulNya adalah kafir dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik. Andaikata kita menerima bahwa firman Allah “Maa duuna dzaalika” berarti “dosa yang selain syirik” , niscaya inipun termasuk dalam bab Al-Aam Al-Makhsus (dalil umum yang bersifat khusus) dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.
Bagian ketiga: Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Contohnya: Sabda Nabi  dalam hadits yang tituturkan oleh Mu’adz bin Jabal “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak ada Sesembahan yang haq selaln Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya, niscaya Allah mengharamkannya dari api neraka.” . Redaksi ini adalah salah satu dari sekian hadits yang semakna, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin Shamit dan ‘Itban bin Malik.
Bagian keempat: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya meninggalkan shalat.
Contohnya: Sabda Nabi  dalam hadits yang dituturkan ‘Itban bin Malik: “Sesungguhnya Allah mengharamkan terhadap neraka orang yang menyatakan: ‘Tidak ada Sesembahan yang haq selain Allah’, dengan ikhlas semata-semata mengharapkan perjumpaan dengan Allah.” (HR. Bukhari). Juga hadits yang dituturkan Mu’adz bin Jabal “Barangsiapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada Sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah’ secara jujur dari lubuk hatinya, niscaya Allah mengharamkannya dari api neraka.” (HR. Bukhari)
Dengan dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat oleh keikhlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan. Karena siapapun yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya, niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat; dan tentu saja karena shalat adalah salah satu sendi Islam serta media komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Maka jika ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apa saja yang dapat menghantarkannya ke tujuannya itu dan menjauhi segala yang menjadi penghalangnya. Demikian pula orang yang bersaksi: “Laa Ilaaha Illallaah wa Anna Muhammadur Rasuulullaah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah, karena hal itu termsuk syarat-syarat syahadat yang benar.
Bagian kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat. Contohnya, hadits yang dituturkan Hudzaifah bin Al-Yaman bahwa Rasul  bersabda: “Akan hilang Islam ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian … dan tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lalaki dan wanita yang tua renta, mereka berkata: “Kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka).” (HR. Ibnu Majah)
Shilah berkata kepada Hudzaifah: “Tidak berguna bagi mereka kalimat “Laa Ilaaha Illallaah” bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat”. Maka Hudzaifah memalingkan mukanya dengan menjawab: “Hai Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulangkali dia katakan ucapan itu kepada Shilah dan pada ucapan ketiga beliau ucapkan sambil menatap Shilah.
Orang-orang yang selamat dari neraka dengan kalimat syahadat saja ini, mereka itu dimaafkan untuk tidak melaksanakan syari’at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja. Kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meningggal dunia sebelum diperintahkannya syari’at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk mengerjakan syari’at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi sebelum sempat mengenal syari’at ia meninggal dunia.
Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat mematahkan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Karena dalil-dalil yang mereka pergunakan dhaif dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk meninggalkan shalat, attau dalil umum yang bersifat khusus dengan adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi. Untuk itu, harus dikenakan atas diri orang yang meninggalkan shalat tersebut konsekuensi hukum karena kekafiran dan ridddah (murtad keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip “Hukum itu dinyatakan ada atau tidak sesuai illat (alasan)nya.”
BAGIAN KEDUA: KONSEKUENSI HUKUM KARENA MURTAD SEBAB MENINGGAL-KAN SHALAT ATAU SEBAB LAINYA.
Ada beberapa konsekuensi hukum bersifat duniawi dan ukhrawi yang terjadi karena murtad:
Pertama: konsekuensi hukum yang bersifat duniawi:
1-Kehilangan haknya sebagai wali; maka dari itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam. Dengan demikian tidak boleh dijadikan wali anak-anaknya atau yang lain, dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau puteri orang lain yang di bawah kewaliannya.
Para ulama pakar fiqh kita telah menegaskan dalam kitab-kitab mereka yang kecil ataupun yang besar, bahwa disyaratkan beragama Islam bagi seorang wali jika mengawinkan wanita muslimah. Mereka berkata: “Tidak sah orang kafir menjadi wali seorang wanita muslimah”.
Ibnu Abbas berkata: “Tidak sah suatu perniakah kecuali disertai dengan seorang wali yang bijaksana; dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran dan murtad dari Islam. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 130 “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri ..”
2-Kehilangan haknya untuk mewarisi kaum kerabatnya; sebab orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim, begitu pula orang muslim tidak mewarisi orang kafir. Hal itu berdasarkan hadits menurut penuturan Usamah bin Zaid, bahwa Nabi  bersabda: “Tidak boleh orang muslim mewarisi orang kafir dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” (HR. Bukhari, Muslim dan perawi lainnya)
3-Dilarang memasuki kota Mekah dan tanah haramnya, berdasarkan firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al-Masjid Al-Haram sesudah tahun ini …” (Taubah: 28)
4-Diharamkan hewan sembelihannya; seperti unta, sapi, kambing dan hewan lainnya yang termasuk syarat bagi halalnya adalah disembelih. Karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya harus seorang Muslim atau Ahlukitab (Yahudi dan Nasrani) . adapun orang yang murtad, paganis, Majusi dan semisalnya; sembelihan mereka tidak halal.
Al-Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan: “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang-orang Majusi dan semua ahli syirik seperti kaum musyrikin Arab, para penyembah berhala dan mereka yang tidak mempunyai kitab (yang turun dari langit), hukumnya haram”. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan: “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain demikian kecuali ahli bid’ah”.
5-Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya, Berdasarkan fiman Allah “Dan janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik”. (At-Taubah: 84). Juga firman Allah “Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya) sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. Dan permintaaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah dikrarkannya kepada bapaknya itu. Tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (At-Taubah: 113-114)
Doa seseorang untuk memintakan ampun dari rahmat untuk orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya adalah pelanggaran dalam doa juga merupakan satu bentuk penghinaan terhadap Allah dan penyimpangan dari tuntunan Nabi  dan orang-orang yang beiman.
Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendoakan orang yang mati dalam keadaan kafir agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah? sebagaimana fimanNya “Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, makaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail; maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.” (Al-Baqarah: 98)
Dalam ayat suci ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh semua orang-orang kafir. Padahal termasuk kewajiban bagi orang mukmin ialah berlepas diri dari setiap orang kafir, karena firman Allah “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, keuali Tuhan Yang menjadikan diriku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku’.” (Az-Zukhruf: 26-27) Demikian pula firmanNya “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka; ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata di antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja …’.”(AL-Mumtahanah:4)
Untuk mencapai tingkatan demikian adalah dengan mutaba’ah (mengambil suri teladan) kepada Nabi . Allah berfiman: “Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrik …” (At-Taubah: 3)
Dan di antara tali iman yang paling kuat ialah, “mencintai semata karena Allah, membenci semata karena Allah, membela semata karena Allah dan memusuhi semata karena Allah”. kecintaan, kebencian, pembelaan dan permusuhan saudara hendaknya selaras dengan ridha Allah ‘Azza wa Jalla.
6-Dilarang menikah dengan wanita muslimah; karena dia telah kafir dan orang kafir haram menikahi wanita muslimah, sesuai dengan nash dan ijma’. Allah berfiman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila wanita-wanita yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka …..” (Al-Mumtahanah: 10)
Dalam kitab Al-Mughni 592/6 disebutkan: “Semua orang kafir, selain Ahlikitab, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama, bahwa wanita-wanita dan sembelihan-sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita murtad (berpindah agama dari Islam) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu. Sebab kalau diakui sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka besar kemungkinan bisa dihalalkan.”
Dan disebutkan dalam bab: “Orang murtad” di kitab yang sama 130/8 disebutkan “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya karena tidak diakui secara hukum; dan selama tidak ada pengakuan hukum untuk pernikahannya, maka dilarang pula pelaksanaan pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah”. Dalam kitab “Majma’ul Anhar” bermadzhab Hanafi, pada akhir bab “Pernikahan orang kafir” pada halaman 202/1 diterangkan: “Tidak sah bagi siapapun untuk menikah dengan pria atau wanita yang murtad, berdasarkan ijma’ para sahabat.”
Sebagaiman diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad dan tidak sah kawin dengan pria yang murtad. Dijelaskan pula dalam Al-Mughni halaman 298/6; “Apabila salah seorang dari suami isteri murtad sebelum sang isteri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu dan masing-masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain. Namun, jika murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat; pertama, segera dipisahkan dan kedua, ditunggu sampai habis masa iddah (tunggu)nya.” Demikian pula pada halaman 639/6 disebutkan: “Batalnya pernikahan karena murtad sebelum sang isteri digauli adalah pendapat yang dianut para ulama pada umumnya berdasarkan dalil-dalil. Adapun bila terjadi setelah digauli maka batallah pernikahan seketika itu menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, sedangkan menurut pendapat Imam Syafii, ditunggu sampai habis masa iddah. Adapun menurut Imam Ahmad, ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”
Kemudian disebutkan pula pada halaman 640 “Apabila suami isteri sama-sama murtad, maka hukumnya adalah seperti halnnya jika salah satunya murtad. Jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan (dipisahkan) antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis iddah, menurut dua riwayat? Demikian inilah madzhab Imam Syafii.”
Selanjutnya disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan (kebijaksanaan yan diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash), karena dengan demikian agama mereka tidak berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama-sama beragama Islam. Kemudian, analogi yang digunakannya inipun disanggah oleh Penulis Al-Mughni dari segala segi dan aspeknya.
Apabila telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang yang murtad dengan lelaki atau wanita yang beragama Islam tidak sah berdasarkan dalil Qur’an dan Sunnah, dan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil Qur’an dan Sunnah serta pendapat para sahabat. Oleh karena itu nyatalah bahwa seseorang jika tidak shalat dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini. Begitu pula hukumnya, apabila pihak wanita yang meninggalkan shalat.
Hal ini berbeda dengan pernikahan orang-orang kafir ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang pria kafir kawin dengan wanita kafir kemudian sang isteri masuk Islam. Jika masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi. Tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu; jika sang suami masuk Islam sebelum habis masa iddahnya maka wanita tadi tetap menjadi isterinya, tapi jika telah habis masa iddahnya dan sang suami belum juga masuk Islam maka tidak ada hak lagi baginya terhadap isterinya, karena dengan denmikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal semenjak sang isteri masuk Islam.
Pada zaman Nabi  ada sekian jumlah orang kafir yang masuk Islam bersama isteri mereka dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi  (tanpa disuruh untuk mengulangi akad nikah baru). Kecuali jika terdapat sebab tahrim (pelarangan), seperti apabila kedau suami isteri berasal dari agama Majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang terlarang di antara keduanya, maka saat keduanya masuk Islam diceraikan ketika itu antara mereka berdua karena adanya sebab tahrim tersebut.
Masalah ini tidak seperti halnya masalah orang muslim yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah. Wanita muslimah itu tidak halal bagi orang yang kafir berdasarkan nash dan ijma’ sebagaimana telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karenan murtad. Untuk itu, jika seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal dan wajib diceraikan antara keduanya. Jika pria itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah baru.
7-Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dan perkawinannya dengan wanita muslimah.
Bagi pihak isteri, dengan alasan apapun maka anak-anak terseut adalah tetap anaknya. Sedangkan menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa tidak kafir orang yang meninggalkan shalat, maka anak itu adalah anak suaminya dan bagaimanapun dinasabkan kepadanya, karena pernikahanya adalah sah.
Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan pendapat inilah yang benar sebagaimana telah dijelaskan di atas, pada pasal pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu:
*- Jika sang suami tidak mengetahui bahwa pernikahan itu batal , atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami isteri yang dilakukannya dalam keadaan seperti itu adalah boleh menurut keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat (yang meragukan) dan karenanya anak tadi diikutkan kepadanya dalam nasab.
*- Namun jika sang suami mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang bernpendapat bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram karena terjadi pada wanita yang tidak dihalalkan baginya.
Kedua: konsekuensi hukum yang bersifat ukhrawi
1-Dicaci dan dihardik oleh para malaikat.
Bahkan –nanti- para malaikat memukuli seluruh tubuhnya dari bagian depan dan belakangnya. Allah berfirman: “Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): ‘Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar’, (tentulah kamu akan merasa ngeri). Demikianlah itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hambaNya.” (Al-Anfal: 50-51)
2-Pada hari kiamat dikumpulkan bersama orang-orang kafir dan musyrik karena dia termasuk golongan mereka. Allah berfirman: “(Kepada para malaikat diperintahkan): ‘Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta orang-orang yang sejenis mereka dan apa-apa yang menjadi sembahan mereka, selain Allah; lalu tunjukkan kepada mereka jalan menuju ke neraka.” (As-Shaaffaat: 22-23)
Kata “azwaj’ ialah bentuk jama’ dari kata “zauj” yang berarti jenis atau macam. Yakni: “Kumpulkanlah orang-orang yang musyrik dan orang-orang yang sejenis mereka seperti orang-orang yang kafir dan yang zhalim lainnya.”
3-Kekal untuk selama-lamanya di dalam neraka. Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka dibolak-balikan dalam neraka, mereka berkata: ‘Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” (Al-Ahzab: 64-66)
KHATIMAH (PENUTUP RISALAH)
Hanya sampai di sini apa yang ingin Penulis sampaikan tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak kalangan.
Perlu diketahui bahwa pintu taubat masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat. Karena itu, saudaraku seagama bersegeralah untuk bertaubat kepada Allah dengan ikhlas semata untukNya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi serta memperbanyak amal kebajikan sebagai gantinya. Allah berfirman:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 70-71)
Semoga Allah melimpahkan taufikNya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kita semua kepada jalanNya yang lurus, jalan orang-orang yang dikaruniai kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin; bukan jalan orang-orang yang dimurkai (Yahudi) atau jalan orang-orang yang tersesat (kaum Nasrani).

Sabtu, 17 September 2011

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
 
Al-Fatihah Dengan Bahasa Arab
Tadi di atas telah kita nukilkan sebuah hadits bahwasanya sembahyang tidaklah sah kalau tidak membaca al-Fatihah. Dan hendaknya dia dibaca pada tiap-tiap raka'at. Oleh sebab itu menjadi jelaslah bahwa wajib bagi kita menghapalnya di luar kepala. dan menjadi wajiblah kita tahu akan maknanya, supaya sesuai bacaan mulut kita dengan arti terkandung dalam hati.
Ada satu saran yang amat berbahaya di jaman-jaman akhir ini, yaitu membaca bacaan sembahyang dengan bahasa Indonesia.. Katanya karena mempertahankan bahasa nasional. Kalau saran itu berjalan, terancamlah kita oleh bahaya rohani yang besar sekali, yaitu : kita terputus dari pangkalan agama kita, dari keasliannya yang diterima dari "Nabi Muhammad s.a.w.. Kecintaan kita kepada bahasa dan bangsa kita bukanlah berarti merusakkan pusaka akidah dan kepercayaan yang telah kita anut. Di antara hidup kita sebagai orang Islam tidaklah dapat dicerai-tanggalkan dari al-Qur'an. Kata-kata yang menyarankan sembahyang dengan bahasa nasional itu dengan tidak disadari adalah sisa-sisa peninggalan penjajahan yang 350 tahun lamanya mencoba merubah cara kita berpikir.

Di dalam bangsa penjajah mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab itu, penjajah berusaha keras memasukkan bahasanya sendiri. Sampai saat sekarang ini (1965), sudah 20 tahun kita mencapai kemerdekaan bangsa, masih ada orang yang sukar berbicara dalam bahasa nasionalnya dan lebih gampang lidahnya berbicara dalam bahasa Belanda. Padahal pramasastra dan tatabahasa kita yang berpokok pangkal dari bahasa Melayu lebih berdekat dengan bahasa Arab daripada dengan bahasa Belanda. Kalau kita dalam bahasa kita menyebut nama negeri Bukuttinggi, bukan High Moutain yang kalau diartikan ke bahasa kita menjadi Tinggi Bukit. Kalau kita menyebut dalam bahasa kita Rumahku dalam bahasa Arabnyapun disebut Baiti, yang artinya rumahku juga, bukan Mijn Huis, yang berati Saya Rumah, atau aku rumah, sehingga untuk lebih dipahami terpaksa ditambah mnejadi saya empunya rumah.

Meskipun berangkali kita bangsa-bangsa Indonesia terkernudian memeluk Islam dari bangsa Persia dan bangsa Turki, namun lidah bangsa kita di dalam mengucapkan bahasa Arab, tidaklah kalah dengan lidah mereka, malahan kadang-kadang lidah bangsa kita lebih fasih. Ini diakui oleh bangsa Arab sendiri. Namun begitu dari bangsa ­bangsa itu tidak ada percobaan hendak menukar bacaan sembahyangnya dengan bahasa mereka sendiri. Di satu masa ada gerakan Syu'ubiyah namanya di Persia, yaitu kira-kira pada abad ke tiga dan empat Hijriyah, yang maksudnya hendak memungkiri kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa-bangsa yang lain, yang tergabung dalam Islam. Namun tidak ada gerakan hendak menukar bacaan sebahyang bahasa Arab itu ke dalam bahasa Persia. Memang ada seorang Imam besar Islam, Imam Hanafi pernah menyatakan Ijtihad, bahwa tidak mengapa jika orang yang baru masuk Islam belum sanggup membaca al-Fatihah dalam bahasa Arabnya , sebelum dapat dan lafadz kata beliau bolehlah sementara dia memakai bahasa Per­sia.

Tetapi Fatwa beliau itu tidak mendapat sambutan, malahan murid-murid mengatakan pendapat yang membantah pendapat itu. Lebih baik diam mendengar imam membaca, sebelum pandai membacanya, daripada membacanya dengan bahasa lain, yang bukan bahasa aslinya. Sedangkan menukar lafadz al-Fatihah, meskipun dalam bahasa Arab juga, lagi tidak sah, apatah lagi menukarnya dengan bahasa lain. Dan sudah sepakat ahli-ahli penyelidik bahwa satu bahasa kalau telah dipindahkan ke bahasa lain, tidak lagi tepat menurut maknanya.

Karena siasat hendak memisahkan diri dari mengaruhArab, Musthafa Kemal Attaturk pernah memerintahkan menerjemah Adzan ke bahasa Turki. Tetapi setelah dia mati, dikembalikan orang ke bahasa Arab karena dengan diterjemah itu telah hilang sari dan mengaruhnya.
Dan setelah Partai Demokrasi Jalal Bayar mengadakan kampanye pemilihan umum melawan Partai Republik pusaka Kemal Attaturk, janjinya hendak mengembalikan azan ke bahasa Arab itulah yang menyebabkan kemenangannya. Sebab meskipun sudah sekian puluh tahun Partai Republik berkuasa yang beusaha hendak men­Turkikan segala yang dipandang berbau Arab, rupanya masih tetap sebagai minyak dengan air saja hubungan dengan Rakyat yang masih beragama, yang masih mengmbil kekuatan jiwanya dari al-Qur'an.

Oleh sebab itu tetaplah baca al-Fatihah dalam setiap rakaat sembahyang dalam bahasa aslinya, dalam bahasanya yang diterima dari Nabi s.a.w.. Pelajari bacaanya itu kepada yang ahli mempergunakan hurup-hurupnya menurut tajwidnya (pronounciation) yang betul. Dan dalam hukum agama, nyatalah bahwa mempelajari bacaan al-Fatihah dan mengetahui artinya dalam fardhu `ain, wajib bagi tiap-tiap muslim. Dan saran yang hendak membaca saja terjemahnya itu bukan lagi dari berpikir secara Islam, melainkan dengan tidak disadari telah kemasukan pikiran orang lain yang hendak meruntuhkan Islam.
Kalau kita merasa berat menerima pendapat Imam Syafi'i r.a. yang mengatakan wajib bagi setiap muslim mengetahui bahasa Arab, namun di dalam melakukan sembahyang dengan segala bacaanya dan khusus mengenai bacaan al-Fatihah, berpikir secara Islam yang sehat pasti menerima apa yang dikatankan Imam Syafi'i itu. Betapa tidak ! Sedang sembahyang adalah tiang agama.

Dalam sembahyang kita menghadapkan wajah hati kita kepada Tuhan, mengemukakan segala puji-pujian dan permohonan sebagai yang tersebut di dala m al-Fatihah itu. Dan hendaklah sembahyang itu kita kerjakan dengan khusyu merendahkan diri. Bagaimana khusyu akan tercapai kalau kita tidak mengerti apa yang kita katakan ? Bagaimana sembahyang akan menajdi tiang agama, kalau kita mengerjakannya hanya karena keturunan saja ? Bukan dari keinsyafan ?

Oleh sebab itu hendaklah dalam rumah tangga Islam, Ayah dan Bunda mengajar anaknya sedari kecil membaca al-Qur'an. Sekurang ­kurangnya buat pertama kali ialah diajarkan al-Fatihah, supaya dapat dipakainya untuk sembahyang.
Kalau ada orang mengatakan bahwa belajar al-Fatihah itu sukar, maka yang berkata begitu maka orang yang hatinya telah jauh dari Islam. Sebab sejak agama Islam rnenjadi anutan bangsa kita seribu tahun yang lalu, di Indonesia dengan seluruh kepulauan ini orang telah membaca al-Fatihah, tidak ada yang mengatakan sukar. Lidah anak hendaklah difasihkan sejak kecilnya. Kalau orang tua tidak sanggup mengajarnya, panggilah guru ke rumah.

Kalau seorang tidak juga pandai membaca al-Fatihah, maka Nabi s.a.w tidak juga ada mengajarkan atau membolehkan bacaan lain. Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Daud, an-Nasal', Imam Ahmad, Ibnul Jarud, Tbnu Hibban dan ad-Daruquthni :

17. "Bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi s. a. w lalu berkata : Sesungguhnya aku tidak sanggup mengambil bacaan dari al-Qur'an walaupun sedikit. Oleh sebab itu ajarkanlah kepadaku sesuatu bacaan yang akan dapat memberi pahala bagiku pada sembahyangku. Maka berkatalah beliau : Bacalah Subhanallah,Alhamdulallah, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, La Haula wala Quwwata illa Billahi ".

Hadits ini menunjukkan, bahwa kalaupun tidakpandai membaca al-Fatihah, rnaka untuk menggantinya tidak boleh dengan ucapan lain, melainkan dzikir-dzikir yang tersebut itu. Namun sernbahyang dengan bahasa yang lain tidak juga boleh.

Oleh sebab itu telah termasuk ibadat, tidaklah boleh lagi kita tukar daripada apa yang diajarkan oleh Nabi. Dan kalau a1-Fatihah tidak pandai dan dzikir-dzikir yang tersebut itupun tidak pandai, bolehlah mengikut Iman dengan mendengarkan bacaan Imam, sebagaimana telah dibukakan pahamnya oleh ijtihad yang kita sebutkan tadi. Tegasnya, lebih balk berdiam diri mendengarkan imam marribaca, daripada mengerjakan sembahyang dengan bahasa yang lain, atau dengan terjemahan al-Fatihah. Sebab terjernahan itu tidak jugalah akan tepat seratus persen dengan kehendak isi aslinya.

Ini mungkin dan bisa kejadian pada seorang Muallaf yang baru masuk Islam, yang sesudah dia mengucapkan dua kalimah syahadat, dia sudah wajib sembahyang, padahal dia belum tahu baik zikir atau al-Fatihah. Dalam pada itu ia wajib belajar sehingga tidaklah lama dia hanya mendengar saja.

Kesimpulan
Renungkanlah pengertian al-Fatihah sebaik -baiknya, niseaya akan terasa bahwa dia bukan semata-mata bacaan untuk ibadat, tetapi mengandung juga bimbingan untuk membentuk pandangan hidup muslim. Mula-mula dipusatkan seluruh kepercayaan kepada Allah dengan sifatNya Yang Maha Pemurah darl Penyayang, disertai dengan KeadilanNya yang berlaku sejak dari dunia lalu ke negeri akhirat. Dan bila kita renungkan pula pengertian dan pengakuan kita, bahwa yang kita sembah hanya Dia dan tempat kita memohonkan sesuatu hanya Dia. Sampailah kita kepada Islam yang sejati. Setelah kita akui bahwa hanya Dia yang kita sembah, baruiah kita. mengajukan perrnohonan. Jangan sampai terbalik, sebagai kebanyakan orang-orang ghafil, yang lebih dahulu memohon dan kemudian baru beribadah.

Sesudah pengakuan yang demikian, kita kemukakan permohonan yang pertama dan utama, yaitu meminta ditujuki jalan yang lurus. Maka tidaklah kita meminta kepada Tuhan agar diberi benda, diberi roti buat makanan hari ini, sebagi bacaan sembahyang orang Kristen. Karena apabila mengenal (ma'rifat) kita kepada Tuhan telah mendalam, tidaklah kita mengemukakan permohonan yang kecil-kecil dan remeh itu lagi, melainkan kita minta yang pokok, yaitu jalan lurus dalam menempuh hidup, dan apabila permohonan itu telah kita iringi supaya dikaruniai jalan yang dinikrnati, timbullah pada kita cita-cita yang tinggi di dalam martabat iman, setaraf dengan kehidupan Rasul­rasul, Nabi-nabi, Syuhada dan Shalihin. Bahkan di dalam surat al­furQan (Surat 25 ayat 74) kita disuruh berdo'a yang jangan tanggung­tanggung jangan halang kepalang.

Kita disuruh berdoa agar Tuhan menjadi IMAM dari orang-orang yang MuttaQin, artinya menjadi contoh teladan bagi orang lain. Dan setelah kita memohonkan agar kiranya kita diselamatkan Tuhan, jangan tertempuh jalan yang dimurkai Allah dan jangan pula jalan yang sesat, dengan secara tidak langsung kita sudah disuruh mempelajari ilmu sejarah, filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi), dan juga ilmu jiwa. Kita harus mempelajari bagaimana sebab-sebab sesuatu umat atau kaum naik martabatnya atau jatuh pamornya.

Dan dengan sendirinya, bila al-Fatihah kita renungkan dapatlah kita pahamkan bahwasanya yang kita pegang di dalam hidup ini ialah dua tali. Pertama tali dengan Allah, kedua tall dengan Alam, termasuk manusia sebagai alam yang lebih penting dan kita termasuk pula di dalamnya.

Al-Fatihah inilah yang kita ulang-ulang membacanya setiap hari, sekurang-kurangnya 17 kali sehari semalam. Moga-moga selain dari dia menjadi Fatihatul kitab, pembukaan dari al-Qur'an, diapun akan membuka hati sanubari kita sendiri, sehingga hilanglah segala ragu­ragu dan terbukalah pintu Hidayat, sehingga dia menjadi dasar persediaan bagi kita buat mengenal lagi seluruh isi al-Qur'an yang mengandung 6.236 ayat itu.

Kita misalkanlah sembahyang lima waktu, yang terdiri daripada 17 raka'at, sebagai menghadap Tuhan yang routine, yang wajib dilakukan dengan berkala. Bagaimanakah lagi kesannya ke dalam jiwa kita, bila kita ikuti lagi dengan Shalat Nawafil, sembahyang sunat ? Sembahyang Sunat Nawafil disediakan Tuhan, dengan perantaraan RasulNya, untuk orang yang merasa belum puas dengan pertemuan "resmi" saja. Pertemuan di luar "dinas" kadang-kadang lebih mesra daripada pextemuan yang "routine".

Dimulai segala sembahyang itu dengan Allahu Akbar, artinya dibulatkczn ingatan kepada Tuhan, dan diakhiri dengan Assalamu'alaikum. artinya kita kembali lagi ke dalam masyarakat dan intinya ialah al-Fatihah.

Bertali dengan ketentuan agama bahwasanya sembahyang lima waktu, sembahyang Jum'at, sernbahyang dua Hari Raya dan sembahyang dua gerhana, dianjurkan sangat supaya berjama'ah. Jama'ah kecil-kecilan di antara keluarga di rumah , jamaah sekampung atau selorong di dalam sebuah surau kecil kepunyaan kampung. Jama'ah lebih besar sekali Jum'at, di dalam sebuah Masjid Jam', jama'ah dua Hari Raya, jama'ah gerhana bulan dan matahari dan jama'ah memohon hujan (istisqaa). Dan jama'ah besar dan agung, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup dengan wuquf di Arafah waktu Haji. Semua jama'ah ini membuat seorang muslim menjadi anggota masyarakat yang aktif, sehingga terbentuklah masyarakat Is­lam, ukhuwah Islarniyah dan Mu'awanah `alal birri wat-taqwa. Semuanya sama bacaanya yaitu surat al-Fatihah.

Dan di dalam jama'ah itupun dididik hidup yang berdisplin. Jama'ah mempunyai imam dan yang selebihnya menjadi makmum. Bahkan di jaman nabi dan sahabat-sahabatnya, imam sembahyang berjamaah ialah Nabi, Khalifah-Khalifah, Gubernur (Wali) di tiap­tiap negeri. Tidak boleh seorang makmum mendahului mengangkat kepalanya seketika ruku dan sujud sebelum imam. Sampai ada hadits mengatakan bahwa barangsiapa yang mengangkat kepalanya terdahulu daripada imam rnengangkat kepala, maka kapalanya itu akan berganti menjadi kepala keledai.

Al-Fatihahpun mendidik kita memakai adab sopan-santun yang tertinggi. Adab sopan-santun yang tinggi itu dimulai terhadap kepada Tuhan akan membawa kesannya pula kepada sikap hidup kita dalam masyarakat, perhatikanlah susunan ayat yang tujuh itu.

Pada ayat pertama "Bismillahir-Rahmanir-Rahim", kita memujikan sifat Rahman dan RahimNya. Sesudah itu pada ayat kedua "Alhamdulillahi Rabbil `Alamin" kita puji Dia, kita sanjung Dia, sebab Dia yang menjadikan alam ini tempat kita hidup. Pada ayat ketiga kita ulang lagi menyebut sifat Rahman dan RahimNya itu. Di ayat keempat "Maliki Yaumiddin", kita mengakui bahwa kekuasaanNya itu bukan meliputi hari sekarang saja, bahkan berlanjut lagi kepada yang diseberang hidup ini. Setelah selesai kita akui segala

Rahman dan Rahim, segala puji dan kekuasaan dunia akhirat hanya Dia yang empunya, tidak ada dicampuri yang lain, barulah kita menunjukkan sikap hidup pada ayat kelima  
 إيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ      ("IyyakaNa'budu waiyyaka Nasta'in." )
Oleh sebab itu kita menyembahNya adalah dengan kesadaran bahwa hanya Dia yang patut disembah. dan memohon pertolongan kepadaNya, karena memang hanya Dialah yang sanggup mengabulkan segala permohonan.

Sesudah pengakuan ini barulah kita langsung saja mengemukakan permohonan, sebelum kita mengenal atau menyebut tuah kebesaran dari tempat kita memohon itu. Adalah sangat tidak sopan orang langsung saja mengemukakan satu keinginan, sebelum dengan tulus ikhlas dia mengakui kemulian dari pada tempatnya memohon.
Kita mempunyai nyawa atau roh, dan roh itupun hendaklah dijiwai pula. Agama Islam adalah suatu agama yang menjadi roh dari roh kita. Tidak beragama sama artinya dengan mati, walaupun kita masih hidup. Dan al-Fatihah adalah isinya yang utama, sehingga dengan memahamkannya kita dapat mencapai hakikat hidup. Amin